Jakarta (Lampost.co)— Film A Business Proposal yang memproduksi oleh Falcon Pictures resmi tayang di bioskop Indonesia sejak Kamis, 6 Februari 2025.
Dibintangi oleh Abidzar Al Ghifari dan Ariel Tatum, film ini mengadaptasi dari serial drama Korea Selatan berjudul sama yang populer pada tahun 2022.
Sayangnya, film yang sempat mengantisipasi banyak penonton justru mengalami penurunan minat secara signifikan akibat kontroversi yang melibatkan pemeran utamanya.
Bacajuga:Ariel Tatum Sedih Film “A Business Proposal” Dihujat karena Abidzar
Berdasarkan data dari akun X @cinepoint_, film A Business Proposal hanya mampu meraih 6.900 penonton pada hari pertama penayangannya. Dengan total 1.270 pertunjukan, tingkat okupansi layar bioskop pun berada di bawah 4%.
Ini menjadikannya salah satu film adaptasi dengan performa terburuk di hari pertama sepanjang sejarah perfilman Indonesia.
“1.270 pertunjukan. Okupansi kurang dari 4%. 6.900 tiket masuk pada hari pertama,” tulis akun Cinepoint pada Jumat, 7 Februari 2025.
Produser Falcon Pictures Santai Menanggapi
Frederica, produser dari Falcon Pictures, mengaku tidak ingin terlalu memusingkan rendahnya jumlah penonton di hari pertama. Ia menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan segala upaya promosi maksimal sebelum perilisan film tersebut.
“Jalani aja, jalani aja,” ujar Frederica santai. Ia juga menyatakan bahwa Falcon Pictures tidak memiliki strategi khusus untuk meningkatkan jumlah penonton setelah kontroversi yang terjadi.
“Enggak ada (strategi tertentu). Kami jalani aja sih. Kan teman-teman pasti tahu yang terjadi, kita bisa baca semua di sosial media,” ungkapnya.
Penyebab Film A Business Proposal Sepi Penonton
Minimnya jumlah penonton di hari pertama terduga kuat akibat pernyataan kontroversial dari Abidzar Al Ghifari yang memicu kemarahan komunitas penggemar drama Korea dan K-Pop di Indonesia. Sebelum film tayang, Abidzar mengaku hanya menonton satu episode dari serial drama Korea Business Proposal (2022) sebagai persiapan perannya. Ia menyatakan ingin membangun karakternya sendiri tanpa terpengaruh versi asli.
Tak hanya itu, dalam sebuah podcast, Abidzar juga sempat menyinggung penggemar budaya Korea yang disebutnya sebagai “fans fanatik.” Pernyataan tersebut memicu reaksi negatif dari netizen, yang kemudian menyerukan boikot massal terhadap film tersebut.
Permintaan maaf yang telah disampaikan Abidzar dan Falcon Pictures beberapa waktu lalu tampaknya belum mampu meredam amarah para penggemar. Ajakan boikot terus bergulir di media sosial hingga akhirnya berdampak nyata pada jumlah penonton film tersebut.
Ekspektasi Tinggi, Kekecewaan Lebih Dalam
Budaya Korea telah menjadi bagian penting dari konsumsi pop culture di Indonesia sejak awal 2000-an. Mulai dari drama Endless Love (2000), Winter Sonata (2002). Hingga masuknya gelombang musik K-Pop dengan Super Junior, TVXQ, dan Girls’ Generation pada pertengahan 2000-an, penggemar Indonesia terus berkembang pesat.
Penggemar drama Korea dikenal memiliki ekspektasi tinggi terhadap adaptasi karya-karya favorit mereka. Aktor dan aktris Korea kerap melakukan riset mendalam serta persiapan fisik dan mental demi menghidupkan karakter yang dimainkan.
Sebagai contoh, aktor Ahn Hyo Seop, yang berperan sebagai Kang Tae Moo di serial drama Business Proposal (2022). Iarela mengubah intonasi suara serta gaya berjalan agar karakter yang iaperankan terasa lebih hidup.
Sementara itu, aktris Kim Tae Ri yang bermain dalam Twenty Five Twenty One (2022) menjalani latihan anggar selama enam bulan dan bekerja sama dengan pelatih profesional di lokasi syuting demi mendapatkan hasil yang maksimal.
Kontras dengan hal tersebut, pernyataan Abidzar yang mengaku hanya menonton sedikit bagian dari versi asli drama Korea menganggap sebagai bentuk kurangnya dedikasi dalam mempersiapkan perannya. B
anyak netizen yang merasa kecewa dan membandingkan usaha Abidzar dengan para aktor Korea yang mereka kagumi.
Dampak Boikot Terhadap Masa Depan Film Adaptasi Korea
Kasus A Business Proposal menjadi pelajaran penting bagi rumah produksi yang berencana membuat adaptasi karya Korea di masa mendatang. Selain harus menghadapi ekspektasi tinggi dari penggemar, film adaptasi juga perlu mempertimbangkan pendekatan promosi yang sensitif terhadap komunitas penggemar agar tidak memicu kontroversi yang merugikan.
Meskipun film ini baru memasuki hari-hari awal penayangannya, kecilnya jumlah penonton di hari pertama bisa menjadi pertanda bahwa perjalanan A Business Proposal di bioskop tidak akan mudah.
Strategi perbaikan, baik dari sisi promosi maupun pendekatan kepada audiens, mungkin diperlukan agar film ini tidak berakhir sebagai kegagalan besar di industri perfilman Indonesia.
Bagi para penggemar film lokal, menarik untuk melihat apakah film ini mampu bangkit dari situasi sulit dan mendapatkan tempat di hati penonton.