Bandar Lampung (Lampost.co) – Akademisi Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara berpendapat terkait hukuman mati. Aspek melawan hukum, memperkaya diri sendiri dan merugikan negara, semua unsurnya telah terpenuhi.
“Aspek pidana mati dalam keadaan tertentu salah satunya bencana alam, berdasarkan Keppres No. 12 Tahun 2020 menetapkan Covid-19 sebagai bencana non-alam nasional unsur keadaan tertentu secara normatif terpenuhi,” katanya, Rabu, 17 September 2025.
Menurut Benny, butuh pendalaman apakah pidana mati bisa tergunakan dalam perkara ini. Menurutnya, pemenuhan unsur tidak otomatis mewajibkan pidana mati. Pada interpretasi gramatikal, kata “dapat dijatuhkan” memberi diskresi hakim, bukan kewajiban absolut.
Kemudian, pada interpretasi sistematis. Pasal 3 UU Tipikor juga mengatur kerugian negara oleh penyalahgunaan jabatan ancaman lebih ringan. Bila semua kasus Covid-19 otomatis pidana mati, akan terjadi disharmoni norma.
Lalu, pada interpretasi teleologis. Tujuan pidana mati dalam korupsi adalah pemberatan hukuman untuk kasus luar biasa yang menimbulkan penderitaan rakyat luas. Tidak semua kasus korupsi pada masa Covid-19 memenuhi kriteria ini.
“Misalnya kasus bansos (yang langsung menyangkut kebutuhan hidup rakyat miskin). Ini lebih layak pidana mati daripada kasus kredit fiktif dengan kerugian Rp 2 miliar yang skalanya terbatas,” katanya.
Asas Proporsional
Kemudian menurut Benny, asas proporsionalitas, pidana harus sebanding dengan dampak perbuatan. HAM & ICCPR (diratifikasi melalui UU No. 12/2005), pidana mati hanya untuk “the most serious crimes”. Perdebatan akademik apakah korupsi masuk kategori ini, Indonesia menjawab ya dalam UU, tapi prakteknya tidak pernah terputuskan.
“Yurisprudensi hingga kini belum ada vonis pidana mati untuk korupsi. Hakim cenderung menjatuhkan pidana penjara lama atau seumur hidup,” katanya.
Selanjutnya Benny menyebut secara normatif, unsur Pasal 2 ayat (1) & (2) terpenuhi jika korupsi saat Covid-19 yang berstatus bencana nasional, pidana mati dapat dijatuhkan. Namun, Secara praktik, pidana mati tidak otomatis karena frasa “dapat” memberi ruang bagi hakim untuk mempertimbangkan asas keadilan, proporsionalitas, dampak sosial, dan HAM.
“Kasus-kasus kecil (Rp 1–2 miliar, kredit fiktif) walau terjadi ketika masa Covid, biasanya tidak teranggap cukup “extraordinary” untuk pidana mati. Kasus bansos Covid-19 yang langsung merampas hak hidup rakyat banyak lebih mungkin dipandang layak untuk ancaman pidana mati,” katanya.
Karena itu, menurut Benny, perlu kriteria objektif dalam peraturan pelaksana atau SEMA/Mahkamah Agung kapan pidana mati benar-benar dapat terterapkan pada korupsi masa bencana.
Korupsi KMK
Sebelumnya, Polresta Bandar Lampung menetapkan YA (40), warga Sukarame sebagai tersangka korupsi pemberian kredit modal kerja (KMK) salah satu Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). YA terancam hukuman pidana mati karena perbuatannya berlangsung ketika covid-19.
Pelaku merupakan Account Officer (AO) salah satu Bank Himbara Cabang Teluk Betung. Perbuatan culas pelaku berlangsung pada 27 November 2020 kemarin. Setelah melakukan penyidikan, dan meminta audit perhitungan kerugian negara kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kerugiannya mencapai Rp 2 miliar.
Sementara berdasarkan informasi yang terhimpun, pinjaman KMK tersebut merupakan bantuan modal bagi usaha, saat pandemi covid-19 berlangsung sejak tahun 2020. Saat itu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menetapkan pandemi covid 19 sebagai bencana non alam. Penyebaran covid 19 berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020.
Kemudian berdasarkan pasal 2 ayat (2) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dapat terjatuhi pidana mati dalam keadaan tertentu. Sementara maksud “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Apalagi bila tindak pidana tersebut terjadi pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Sementara waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Terhadap peluang hukuman mati tersebut, Kapolresta Bandar Lampung, Kombes Pol. Alfred Jacob Tikulay, mengatakan peran penyidik hanya sebatas membuktikan perbuatan pidana itu ada, sesuai pasal yang disangkakan. Namun, ia membenarkan kalau pinjaman tersebut terkait bantuan usaha saat warga terdampak pandemi covid 19.
“Soal tuntutan dan putusan, di luar kita. Itu kewenangan JPU dan hakim, kami tetep memeriksa fokus unsur-unsur terpenuhi,” katanya