Jakarta (Lampost.co): Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Syamsuddin Haris menyebut episentrum korupsi berada di kantong-kantong partai politik (parpol). Pasalnya, sistem politik dan pemerintahan di Indonesia saat ini masih melembagakan dan memfasilitasi berbagai tindakan koruptif.
“Parpol saat ini menjadi episentrum korupsi di Indonesia. Fakta saat ini menunjukkan bahwa pejabat publik yang umumnya dari partai politik paling sering terpenjara karena korupsi,” ujarnya pada diskusi bertajuk ‘Indeks Pelembagaan Partai Politik” di Gedung BRIN Jakarta, Rabu (30/10).
Syamsudin menyampaikan bahwa sistem yang masih terbangun saat ini merupakan sistem yang masih korup. Sehingga, hal tersebut membuka peluang besar maraknya tindak perilaku korupsi di lingkungan parpol.
“Data KPK menunjukkan ada 163 Bupati/Walikota, 35 gubernur atau wakil gubernur, dan 39 pejabat setingkat menteri, 5 ketua umum dari 4 partai politik dan 3 pimpinan lembaga MK. Kemudian, DPD yang masuk penjara karena tindakan korupsi,” katanya.
Data tersebut menurut Syamsudin menjadi indikator atau parameternya bahwa parpol masih belum transparan dan akuntabel dalam melakukan rekrutmen. Namun sampai saat ini, lanjut Syamsudin, belum ada komitmen sungguh-sungguh dari negara untuk membuat sistem politik yang akuntabel, bersih, dan tidak korup.
“Ini telah menjelaskan bahwa pengelolaan partai politik masih sebagai badan hukum privat. Padahal, semestinya pengelolaan parpol harus menjadi badan hukum publik. Di mana kedaulatan itu mestinya ada di tangan anggota bukan hanya di tangan ketua umum,” imbuhnya.
Strategis
Syamsudin menilai parpol memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam menjalankan amanat untuk merekrut calon pejabat publik secara elektoral dan non-elektoral. Atas dasar itu, ia mendorong berbagai pihak untuk mereformasi aturan internal partai politik menjadi lebih baik baik dalam pengelolaan anggaran, rekrutmen, hingga pergantian pimpinan yang demokratis.
“Mekanisme internal partai politik dalam menentukan caleg, konteks kaderisasi, dan dalam demokrasi internal parpol dalam seleksi ketua umum apakah sudah memenuhi transparan, demokratis, dan bottom up? Ini menjadi acuan dalam menghasilkan partai politik yang terlembaga,” jelasnya.
Menurut Syamsudin, partai politik yang institusional atau terlembaga dengan baik menjadi salah satu syarat untuk menerapkan prinsip efektivitas dalam bernegara. Khususnya dalam mendukung presidensial serta sistem pemilu dan sistem politik dan pemerintah.
“Sayangnya sampai saat ini, parpol di Indonesia sebagian besar anggapannya milik dari ketua umum atau sang pendiri. Akhirnya pengelolaan parpol itu layaknya sebagai badan hukum privat bukan sebagai badan hukum publik,” tandasnya.