Bandar Lampung (Lampost.co) — DPRD Provinsi Lampung menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan warga Anak Tuha, Lampung Tengah, dan LBH Bandar Lampung, Selasa, 16 September 2025. RDP tersebut terkait polemik konflik agraria dengan PT. Bumi Sentosa Abadi (BSA).
Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas menyebutkan, LBH mendampingi warga menyampaikan beberapa tuntutan. “Ada 3 tuntutan yang kami ajukan” ujarnya.
Kemudian menurut Prabowo, sejak November 2024 LBH Bandar Lampung mendampingi sekitar 400 Kepala Keluarga dari tiga desa dengan berbagai langkah. Mulai dari investigasi, dokumentasi, aksi massa, hingga pendampingan hukum.
Menurutnya, konflik ini bermula sejak awal 1970-an ketika PT. Chandra Bumi Kota masuk ke wilayah Anak Tuha dengan dasar perjanjian sepihak, lalu beralih kepada PT. BSA melalui penerbitan HGU yang tidak pernah diketahui atau disetujui masyarakat.
“Sejak 2012 warga kembali menggarap tanah. Namun menghadapi penggusuran besar pada 2013–2014 dan 2023 besertai penangkapan serta intimidasi,” katanya.
Ganti Rugi Manipulatif
Kemudian banyak tanah warga yang sudah bersertifikat justru masuk dalam HGU PT. BSA. Ada sertifikat yang terbit hanya separuh luasnya, ada juga yang tidak bisa tergarap penuh karena tertanami tebu perusahaan.
“Peta ATR/BPN yang bisa terakses publik memperlihatkan jelas bidang tanah warga berada dalam HGU. Bukti lain berupa batas-batas historis seperti makam tua dan pohon besar juga menunjukkan penguasaan lama,” katanya.
Selain itu, ia menyebut, proses ganti rugi terbukti manipulatif. Warga dipanggil ke kecamatan, diminta tanda tangan, mendapat uang, lalu lahannya tergusur. Banyak yang tidak tahu bahwa itu teranggap sebagai ganti rugi resmi.
“Gugatan yang pernah terajukan atas nama masyarakat justru melemahkan posisi warga karena bukan dari kelompok inti. Kedua gugatan kalah dan menjadi dasar pembenaran perusahaan. Padahal warga yang menolak ganti rugi tetap berpegang bahwa perjuangan mereka adalah mempertahankan tanah, bukan uang,” katanya.
Selanjutnya Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah sempat membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria dan DPRD Kabupaten berkomitmen membentuk Pansus. Ada kesepakatan agar PT. BSA menghentikan aktivitas hingga 31 Oktober 2025.
“Namun perusahaan tetap beroperasi dan SK Bupati tentang Gugus Tugas tidak berjalan nyata. Perjuangan masyarakat selalu berbarengan kriminalisasi. Pada 17 Agustus 2025, ketika warga masuk ke lahan untuk memperingati kemerdekaan, sore harinya mereka langsung dipanggil polisi. Surat panggilan seolah terburu-buru hingga salah ketik dasar UU, seharusnya UU Perkebunan tapi tertulis UU Kehutanan,” katanya.
Lalu menurutnya, perjuangan ini bukan sekadar soal ganti rugi, tetapi mempertahankan tanah adat yang terampas. Kalau hanya mengandalkan jalur legal formal, masyarakat tidak akan pernah menang. Karena itu DPRD perlu menjalankan fungsi pengawasan dan mendorong penyelesaian melalui Gugus Tugas Reforma Agraria dengan melibatkan akademisi, masyarakat, dan instansi terkait.
Tiga Point Tuntutan Warga:
1. Audit dan lakukan pengawasan aktivitas PT BSA yang merampas tanah rakyat tiga kampung.
2. Dorong Gubernur dan ATR/BPN Provinsi Lampung untuk mengevaluasi HGU PT BSA; salah satunya akan habis pada 2029.
3. Komisi I turun langsung ke lokasi untuk melihat kondisi riil, termasuk monumen tua sebagai saksi sejarah, serta dampak sosial berupa hilangnya mata pencaharian, anak-anak yang terancam putus sekolah, dan terganggunya dapur keluarga.