Jakarta (Lampost.co)–Giliran PBNU menyoal pembahasan Revisi Undang-Undang TNI (UU TNI) yang ternilai tak masuk akal soal posisi di MA dan Jaksa Agung.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Mohamad Syafi’ Alielha atau Savic Ali menyoroti wacana pengisian lima jabatan sipil oleh prajurit aktif TNI tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun. Jabatan tersebut meliputi posisi strategis, termasuk Mahkamah Agung (MA) dan Jaksa Agung.
Savic Ali menilai kebijakan tersebut tidak masuk akal karena lembaga seperti MA dan Kejaksaan Agung membutuhkan kompetensi hukum yang sangat tinggi. Sedangkan TNI tidak dipersiapkan untuk tugas tersebut. Ia juga menyayangkan pembahasan revisi ini dilakukan secara tertutup di Fairmont Hotel, Jakarta, Sabtu, 15 Maret 2025.
Baca Juga: Revisi UU TNI Dikritik, YLBHI dan Koalisi Masyarakat Sipil Soroti Ancaman Demokrasi
“Saya kira itu tidak masuk akal bahwa Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung butuh kompetensi hukum yang sangat tinggi dan TNI tidak dididik untuk ke sana,” ujar Savic Ali.
Ia mengakui beberapa jabatan sipil seperti Badan SAR Nasional serta BNPB masih bisa memungkinkan. Mengingat adanya justifikasi yang relevan. Namun, ia tetap menegaskan bahwa penempatan prajurit aktif di posisi seperti Jaksa Agung dan MA bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik.
“Tapi saya kira itu adalah kemunduran dari semangat good governance, pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang demokratis. Dan ini bertentangan dengan spirit reformasi tahun 1998,” lanjutnya seperti melansir NU Online.
Tetap Fokus pada Pertahanan
Pendapat senada dari Direktur Wahid Foundation, Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid. Menurutnya, TNI selama ini sudah menunjukkan semangat untuk tidak terlibat dalam ranah sipil dan politik secara langsung. Ini merupakan langkah positif dalam sistem demokrasi.
“Rakyat mengapresiasi itu. Kita berharap TNI bisa fokus berkonsentrasi dalam persoalan pertahanan negara dan tidak tergoda untuk masuk ke ranah-ranah sipil, karena itu bisa membawa kerancuan dalam kualitas berdemokrasi kita,” ujar Yenny.
Ia juga menekankan jika seorang prajurit aktif ingin menduduki jabatan sipil, maka seharusnya mereka menanggalkan status sebagai anggota TNI. Yenny menilai penting untuk mengklarifikasi standar yang berlaku dalam pengisian jabatan sipil oleh anggota TNI.
“Kita minta klarifikasi, kok ada standar-standar yang berbeda untuk jabatan sipil dengan jabatan-jabatan yang TNI miliki? Mana jabatan yang membuat seseorang dapat menanggalkan posisinya sebagai anggota TNI aktif dan mana yang tidak? Ini yang saya rasa sebagai masyarakat sipil harus kritisi,” tegasnya.
Dengan adanya kritik dari berbagai elemen masyarakat, revisi UU TNI ini menjadi sorotan publik. Wacana ini juga berpotensi memicu perdebatan terkait batasan peran TNI dalam pemerintahan sipil. Serta dampaknya terhadap demokrasi di Indonesia.