Bandar Lampung (Lampost.co) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa sejumlah orang dan menggeledah kantor organisasi perangkat daerah (OPD) di Kabupaten Lampung Tengah, pada 22 April 2025. Pemeriksaan ini berkaitan dengan kasus korupsi dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan, untuk tahun anggaran 2025.
Juru Bicara KPK, Tesa Mahardika, membenarkan adanya pemeriksaan tersebut. “Penyidik saat ini sedang melakukan penggeledahan di Kabupaten Lampung Tengah, terkait dugaan tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten OKU, Provinsi Sumatra Selatan, untuk tahun anggaran 2024 hingga 2025,” ujar Tesa.
Baca juga: Kronologi Terungkapnya 3 Hakim Terjerat Suap Korupsi Ekspor Minyak Goreng
Namun, Tesa belum menjelaskan secara rinci identitas pihak yang diperiksa maupun barang bukti yang disita karena pemeriksaan masih berlangsung.
“Rincian lebih lanjut akan kami sampaikan setelah seluruh rangkaian kegiatan selesai,” katanya.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan enam orang tersangka, yaitu FJ, MFR, dan UM yang merupakan anggota DPRD OKU; Nov, Kepala Dinas PUPR OKU; serta MFZ dan ASS dari pihak swasta.
KPK membeberkan modus yang digunakan para pelaku, salah satunya dengan meminjam nama perusahaan (pinjam bendera) untuk mengerjakan proyek di Dinas PUPR OKU. Uniknya, perusahaan yang digunakan berasal dari Kabupaten Lampung Tengah.
Kadis PUPR OKU, Nov, yang telah ditetapkan sebagai tersangka, mengarahkan pihak swasta tertentu untuk mengerjakan proyek dan meminta pejabat pembuat komitmen (PPK) menggunakan perusahaan dari Lampung Tengah.
“Penyedia dan PPK bahkan menandatangani kontrak di Lampung Tengah,” ujar Ketua KPK, Setyo Budiyanto, pada 16 Maret 2025.
Beberapa nama perusahaan yang digunakan untuk mengerjakan proyek tersebut di antaranya:
-
Rehabilitasi Rumah Dinas Bupati senilai Rp8,3 miliar, oleh CV RF
-
Rehabilitasi Rumah Dinas Wakil Bupati senilai Rp2,4 miliar, oleh CV RE
-
Pembangunan Kantor PUPR OKU senilai Rp9,8 miliar, oleh CV DSA
-
Pembangunan Jembatan di Desa Guna Makmur senilai Rp983 juta, oleh CV GR
-
Peningkatan Jalan Poros Desa Tanjung Manggus – Desa Bandar Agung senilai Rp4,9 miliar, oleh CV DSA
-
Peningkatan Jalan Desa Panai Makmur senilai Rp4,9 miliar, oleh CV AJN
-
Peningkatan Jalan Unit 16 Kedaton Timur senilai Rp4,9 miliar, oleh CV MDR Corporation
-
Peningkatan Jalan Letnan Muda MCD Juned senilai Rp4,8 miliar, oleh CV BH
-
Peningkatan Jalan Desa Makatirtama senilai Rp3,9 miliar, oleh CV MDR
“Nov dan PPK langsung berangkat ke Lampung Tengah untuk berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait. Mereka meminjam nama perusahaan, sementara MFZ dan ASS yang mengerjakan proyek,” kata Setyo.
Kronologi
Kronologi korupsi ini bermula saat pembahasan RAPBD OKU 2025. Sejumlah anggota DPRD OKU menemui pihak Pemkab OKU dan meminta jatah pokok pikiran (Pokir), yang kemudian dialihkan menjadi proyek fisik di Dinas PUPR senilai Rp40 miliar.
Nilai proyek awalnya mencapai Rp5 miliar untuk Ketua dan Wakil Ketua DPRD, serta Rp1 miliar untuk anggota. Namun, karena keterbatasan anggaran, nilai proyek diturunkan menjadi Rp35 miliar, dengan komitmen fee sebesar 22% atau senilai Rp7 miliar.
“Setelah RAPBD 2025 disetujui, anggaran Dinas PUPR meningkat dari Rp48 miliar menjadi Rp96 miliar, atau naik dua kali lipat,” jelasnya.
Para pelaku menawarkan proyek tersebut kepada MFZ dan ASS dengan komitmen fee 22%, yang terbagi 20% untuk DPRD dan 2% untuk PUPR.
Menjelang Idulfitri, anggota DPRD OKU, yakni FJ, MFR, dan UH, menagih jatah proyek kepada Nov. Nov berjanji akan memberikan jatah itu sebelum lebaran melalui pencairan uang muka dari sembilan proyek tersebut.
“Pertemuan antara anggota DPRD, Kadis PUPR, pejabat bupati, dan kepala BPKAD berlangsung sebelum pencairan dana,” ungkapnya.
Pada 13 Maret 2025, MFZ mencairkan uang muka proyek. Padahal, dana tersebut seharusnya digunakan untuk membayar tunjangan hari raya (THR), tunjangan penghasilan pegawai (TPP), dan penghasilan kepala daerah.
MFZ kemudian menyerahkan uang sebesar Rp2,2 miliar kepada Nov sebagai komitmen untuk Dinas PUPR. Dana tersebut berasal dari uang muka proyek.
Pada awal Maret 2025, ASS juga memberikan uang sebesar Rp1,5 miliar kepada Nov di rumahnya.
“Pada 15 Maret 2025, tim KPK mendatangi rumah Nov dan A. Tim menyita uang tunai Rp2,6 miliar dari MFZ dan ASS, serta mengamankan pelaku lain di rumah masing-masing. Selain itu, tim juga menyita satu unit mobil Fortuner, dokumen, dan alat elektronik,” pungkasnya.
Ikuti terus berita dan artikel Lampost.co lainnya di Google News