Bandar Lampung (Lampost.co)–Lembaga Pemerhati Hak Perempuan dan Anak (LPHPA) Lampung menilai kualitas perlindungan anak di wilayahnya masih rendah. Mengingat, banyak pelaku kasus kekerasan seksual terhadap anak mendapat vonis ringan di persidangan.
Direktur LPHPA Lampung, Toni Fisher mengatakan yang saat ini menjadi sorotan yakni kasus kekerasan seksual terhadap anak kandung di Menggala. Majelis Hakim PN Menggala memvonis pelaku yang merupakan ayah kandung korban dengan pidana 20 penjara serta denda Rp300 juta.
“Ada apa dengan para jaksa dan hakim di Lampung ini, masih saja tidak menerapkan hukuman yang berat kepada pelaku. Apalagi kasus kekerasan seksual bapak kandung terhadap anak kandung,” ujarnya, Rabu, 20 Maret 2024.
Menurutnya, aparat penegak hukum (APH) perlu mengevaluasi penerapan Undang-undang (UU) tentang Perlindungan Anak. Misalnya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002.
“Pada perubahan kedua itu aturannya tegas, hukuman berat. Bahkan untuk penerapan hukuman kebiri, sudah ada pula panduan pelaksanaannya melalui PP Nomor 70 Tahun 2020,” kata dia.
Toni mengatakan belum tegasnya hukuman terhadap pelaku pelecehan seksual menjadi indikator rendahnya kualitas perlindungan anak di Lampung. Ia menilai realisasi perlindungan anak harus utuh, bukan sekedar simbolis, parsial, maupun dekoratif.
“Jangan hanya sibuk mengejar predikat kabupaten/kota layak anak kalau semua program yang berkualitas tinggi bagi perlindungan anak saja tidak jelas arah dan tujuannya,” ungkapnya.
Untuk itu ia berharap APH harus lebih tegas dalam memberikan hukuman berat bagi pelaku pelanggar hak anak. Terlebih pada kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup keluarga yang notabene merupakan ruang tumbuh anak.
“Hampir di semua kabupaten ada kasus kekerasan seksual oleh bapak kandung. Di mana lagi anak kita mau dapat perlindungan, kalau bapak kandung saja menjadi pelaku,” pungkasnya.