Bandar Lampung (Lampost.co) — Lampung Corruption Watch (LCW), mendorong Kejati Lampung untuk mengembangkan pelaku lain. Khususnya terkait perkara korupsi Pembangunan Jalan Tol Terbanggi Besar Pematang Panggang — Kayu Agung (Terpeka). Dugaannya pada tahun anggaran 2017–2019 oleh PT. Waskita Karya.
Hal itu tersampaikan oleh Ketua LCW Lampung, Juendi Leksa Utama. Ia mengatakan perkara ini baru sekedar menetapkan dua orang sebagai tersangka. Mereka yakni selaku kasir dan kepala bagian akuntansi.
“Ini anggaran sangat besar, Rp.1,2 Triliun dan kerugian negara Rp.6 miliar. Kami apresiasi langkah Kejati. Tapi jangan berhenti sampai sini,” ujarnya, Kamis, 24 April 2025.
Kemudian menurutnya, dua tersangka tersebut hanya pada tataran level jabatan bawah dan menengah. Menurutnya, korupsi biasanya terjadi oleh pelaku yang memiliki power tinggi pada instansi tempatnya bekerja. Sehingga, Kejati harus benar-benar mendalami perkara ini.
“Apa ada sepengetahuan atasannya, atau ada potensi yang lain menerima. Nah itu harus benar-benar kita dalami, saya rasa dari banyak saksi, alat bukti yang ada. Bahkan dari kerugian negara, banyak fakta-fakta hukum yang bisa dikembangkan” kata Alumnus FH Unila itu.
Pendalaman Perkara
Sementara itu, Kejati Lampung juga terus melakukan pendalam terhadap perkara ini, termasuk potensi pelaku lainnya yang terlibat. “Tunggu hasil pemeriksaan kedepan mungkin ada pengembangan dan tersangka lainnya,” ujar Aspidsus Kejati Lampung, Armen Wijaya.
Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Lampung menerima pengembalian kerugian negara dari perkara tersebut. Armen Wijaya mengatakan, pihaknya menerima Rp. 400 juta dari para pihak, 21 April 2025 kemarin. “Kami menerima Rp. 400 juta terkait pengembalian kerugian negara” ujar Armen.
Kemudian pada 16 April 2024 lalu, KPK juga telah menyita uang dari pihak terkait senilai Rp.1, 643 miliar. Ini dugaannya berasal dari perbuatan korupsi perkara tersebut. Kejati juga fokus pada pemulihan aset, guna mencegah kerugian negara. “Jadi total sudah miliar, untuk pemulihan kerugian negara, dari perkara ini, ” katanya.
Sementara dalam perkara ini, dua orang tertetapkan tersangka. Mereka yakni WM alias WDD selaku Kasir Divisi V Waskita Karya dan TG alias TWT selaku Kepala Bagian Akuntansi dan Keuangan Divisi V Waskita Karya. Dalam perkara ini, negara merugi Rp. 66 miliar dari pembangunan jalan tol tersebut ruas STA 100+200 sampai dengan SRA 112-200.
Kemudian anggaran pembangunan jalan tersebut, berasal dari dari Viability Gap Fund (VGF) PT. Jasamarga Jalanlayang Cikampek atas pekerjaan Pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated, dengan besaran anggaran mencapai Rp1.253.922.600.000 (1,2 triliun).
Awalnya pekerjaan tersebut terlaksanakan selama 24 (dua puluh empat) bulan sejak tanggal 5 April 2017 sampai dengan tanggal 8 November 2019. Kemudian melakukan serah terima PHO tanggal 8 November 2019, dengan masa Pemeliharaan (FHO) selama 3 (tiga) tahun.
Keuangan Fiktif
Kemudian, modus para pelaku yakni, dengan membuat pertanggungjawaban keuangan fiktif. Lalu merekayasa dokumen tagihan-tagihan yang seolah-olah berasal dari kegiatan pelaksanaan pembangunan. Tepatnya pada Jalan Tol Terbanggi Besar- Pematang Panggang-Kayu Agung (STA 100+200 s/d STA 112+200) Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2017-2019,
Namun pada kenyataannya pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang tidak pernah ada dan menggunakan nama vendor fiktif. Selain itu juga terdapat modus operandi dengan menggunakan vendor yang hanya dipinjam namanya saja.
“Pertanggungjawaban atas keuangan fiktif oleh WM alias WDD selaku Kasir dan TG alias TWT selaku Kepala Bagian Akuntansi dan Keuangan Divisi V tersebut. Ini mengakibatkan kerugian keuangan negara, dan dari pemeriksaan keduanya. Mereka melakukan atas inisiatif sendiri,” kata Aspidsus.
Keduanya terjerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah terubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke 1 KUHP.
Kemudian Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
“Ancaman maksimal 20 tahun penjara” katanya.