Jakarta (Lampost.co)–Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menduga terdapat praktik korupsi dalam penerbitan izin usaha pertambangan nikel di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ia menyoroti terbitnya izin meskipun peraturan melarang eksploitasi tambang di pulau kecil.
Herdiansyah, yang juga peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 telah melarang aktivitas tambang di pulau kecil. Larangan ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023.
“Izin pertambangan tetap keluar. Ini artinya ada kongkalikong antara pemerintah sebagai pemberi izin dan perusahaan tambang,” ujar Herdiansyah, Sabtu, 7 Juni 2025.
Baca Juga: Ngeri! Tambang Nikel Rusak Ekosistem di Raja Ampat
Ia menilai bahwa penerbitan izin tersebut tidak hanya cacat hukum, tetapi juga berpotensi menjadi tindak pidana korupsi karena mengandung unsur gratifikasi dan merugikan keuangan negara.
Senada dengan itu, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, juga menilai ada kejanggalan dalam penerbitan izin tersebut. Menurutnya, penerbitan izin di wilayah yang sudah dilarang oleh undang-undang menunjukkan adanya potensi praktik korupsi sumber daya alam.
“Kalau izin itu jelas melanggar undang-undang, maka ada kemungkinan adanya kickback atau keuntungan finansial ilegal. Itu masuk kategori korupsi,” kata Feri saat dihubungi Tempo.
Feri menyebut, dasar hukum pelarangan tambang di pulau kecil sudah sangat jelas. Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2014 menyatakan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil prioritaskan untuk konservasi, pendidikan, penelitian, perikanan berkelanjutan, dan sektor non-ekstraktif lainnya.
Baca Juga: Tambang Nikel Ancam Raja Ampat, Simbol Pariwisata Dunia dalam Bahaya
Pulau Gag, yang saat ini menjadi lokasi tambang nikel oleh PT GAG Nikel, memiliki luas sekitar 60 km² (6.000 hektare). Sehingga kategorinya sebagai pulau kecil. Artinya, aktivitas pertambangan di wilayah tersebut secara hukum tidak bolehkan.
Feri menambahkan, aktivitas pertambangan di Raja Ampat tidak hanya melanggar UU sektoral. Tetapi juga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang mewajibkan pengelolaan ekonomi nasional yang berkeadilan, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan.
“Pertambangan nikel ini jelas hanya menguntungkan korporasi dan merusak lingkungan. Tidak ada aspek berkelanjutannya,” tegas Feri.
Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa izin usaha pertambangan nikel tersebut terbit sebelum dirinya menjabat. Ia juga menegaskan bahwa aktivitas tambang dilakukan di Pulau Gag, bukan di kawasan wisata Piaynemo yang selama ini dikaitkan.
“Saat izin itu keluar, saya belum masuk kabinet. PT GAG Nikel sudah memegang kontrak karya sejak 1998,” kata Bahlil dalam keterangan tertulis, Jumat, 6 Juni 2025.
Meski begitu, Bahlil memutuskan untuk menghentikan sementara operasi pertambangan nikel oleh perusahaan tersebut sejak 5 Juni 2025. Keputusan itu diambil menyusul desakan aktivis lingkungan dan masyarakat sipil yang menolak aktivitas tambang di Raja Ampat. Karena membahayakan ekosistem laut dan terumbu karang.