Jakarta (Lampost.co)— Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) Laksanto Utomo, menyatakan penegakan hukum terhadap judi daring (judol) memerlukan keterlibatan semua pihak.
Termasuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Laksanto menegaskan pentingnya kerja sama lintas sektor untuk memberantas judol. Sejalan dengan komitmen pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Laksanto menjelaskan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saat ini, serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan mulai berlaku pada Januari 2026, menggunakan istilah “tanpa izin” dalam konteks aktivitas judi.
Baca juga: 8,8 Juta Orang Terlibat Judi Online, Didomiasi Anak Muda
Hal ini, menurutnya, membuka kemungkinan adanya judi yang dapat diizinkan atau yang ilegal. Tergantung pada regulasi pemerintah.
“Dalam Pasal 426 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2023, izin yang maksudnya adalah izin resmi dari pemerintah, dengan memperhatikan hukum yang berlaku di masyarakat,” ucapnya.
Laksanto melihat bahwa penegakan hukum terhadap judol menghadapi tantangan besar, karena perkembangan teknologi, celah regulasi, kurangnya pengawasan. Serta agresifnya promosi judi daring yang menarik bagi generasi muda.
Untuk menanggulangi masalah ini, pihaknya merekomendasikan kerja sama internasional. Terutama dengan negara-negara yang menjadi lokasi server penyedia judol.
Selain itu, ia menganjurkan edukasi masyarakat dan penyediaan alternatif hiburan sehat guna mengalihkan minat anak muda dari judi daring.
Menghadapi judi daring yang dapat mengakses melalui perangkat pribadi, ia mengakui bahwa pengawasan menjadi lebih sulit.
“Kami juga menyarankan pengawasan yang lebih ketat terhadap rekening bank yang mereka gunakan dalam transaksi terkait judol. Dengan peran aktif PPATK dalam memantau aktivitas keuangan mencurigakan,”pungkasnya.