Jakarta (Lampost.co): Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman menegaskan agar jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak boleh terisi oleh figur cacat etik. Ia menyampaikan hal itu saat merespons Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang menjatuhkan sanksi kepada Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
“Meskipun ternyata sanksinya sedang, tidak boleh orang dengan cacat etik terpilih kembali menjadi pimpinan KPK. Karena KPK akan semakin tersandera ke depan. Jika masih terisi oleh orang-orang yang punya cacat etik,” kata Zaenur melalui keterangan tertulis, Minggu, 8 September 2024.
Menurutnya, Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan dan Dewas KPK 2024-2029 perlu mencoret nama Ghufron dari pencalonan. Jika ada pembiaran dan terpilih kembali, Ghufron tak mampu menjadi teladan bagi jajaran KPK, khususnya para pegawai di lembaga tersebut maupun penyelenggara negara lainnya.
Tindakan Ghufron merugikan citra KPK dan agenda pemberantasan korupsi. Ghufron, sambung Zaenur, juga menjadi contoh buruk bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara yang mestinya jauh dari pelanggaran etik.
“KPK menjadi semakin sulit untuk menyosialisasikan, mengampanyekan nilai-nilai integritas, menjunjung tinggi nilai etika. KPK itu harusnya zero tolerance terhadap segala bentuk pelanggaran kode etik harusnya insan KPK itu dapat menjadi contoh dalam,” ujarnya.
Sanksi dari Dewas KPK ke Ghufron pada Jumat (6/9) terkait penyalahgunaan pengaruh atau jabatan di balik proses mutasi aparatur sipil negara pada Kementerian Pertanian, yakni Andi Dwi Mandasari.
Dewas menjatuhkan sanksi sedang berupa teguran tertulis agar Ghufron tidak mengulangi pebuatannya dan senantiasa menjaga sikap serta perilaku sebagai pimpinan KPK. Selain itu, penghasilan Ghufron setiap bulan di KPK mendapat pemotongan 20% selama enam bulan.