Bandar Lampung (Lampost.co)–Gelombang protes mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unila terus bermunculan menuntut keadilan bagi Pratama Wijaya Kusuma. Pratama, mahasiswa yang meninggal dugaannya usai mengikuti Pendidikan Dasar (Diksar) pada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mahasiswa Ekonomi Pencinta Lingkungan (Mahepel).
Dalam aksi protes mahasiswa beberapa waktu lalu, Korlap Aksi, M Zidan Azzakri mengatakan, ada lima mahasiswa lain yang menjadi korban kekerasan dalam kegiatan tersebut. Mereka mengaku mengalami kekerasan tendangan, pukulan, hingga mengalamu luka fisik dan trauma.
“Jadi total ada enam korban. Ada dua korban paling parah, pecah gendang telinga dan almarhum Pratama ini,” ungkapnya.
Baca Juga: Mahasiswa Papua Lampung Gelar Aksi Protes Represifitas Aparat di Intan Jaya
Korban yang mengalami pecah gendang telinga telah mengundurkan diri dari perkuliahan. Sementara empat korban lainnya mengalami dampak psikologis. Seperti merasa takut membuka diri dan bertemu senior organisasi mahasiswa karena ancaman.
Menurutnya, kegiatan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari Dekanat FEB. Namun sayangnya pihak dekanat tidak menunjukkan tanggung jawab, dan meminta keluarga korban untuk mengikhlaskan peristiwa tersebut.
“Alih-alih sebagai forum diskusi ternyata di grup itu kawan-kawan diminta membuat surat pernyataan bahwa mereka berjanji tidak akan menuntut kasus ini,” kata dia.
Salah satu korban, M Arnando mengaku menerima intimidasi jika bersuara. Bahkan Arnando mendapat ancaman nilai kuliahnya akan diubah jika bercerita terkait peristiwa yang terjadi ke pihak lain.
“Kalau saya cerita lagi, diberitakan lagi, nilai saya bisa diubah-ubah sama mereka. Kalau saya minta bantuan terkait masalah, mereka nggak mau bantu,” ceritanya.
Tekanan
Arnando juga menyatakan bahwa ia harus untuk menandatangani surat pernyataan yang menyebutkan kekerasan saat diksar adalah sukarela. Dia terpaksa menandatangani pernyataan meskipun ia tidak ikhlas.
“Saya diperintahkan untuk menandatangani suatu surat agar jangan cerita lagi, dan kekerasan saat Diksar kemarin itu tertulis sebagai sukarela. Meskipun saya tidak ikhlas dengan apa yang terjadi,” tuturnya.
Terkait hal itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung (FEB Unila) Prof Nairobi telah memanggil pengurus Mehepel dan Alumni pada 12 Desember 2024 lalu. Pengurus sudah mengakui ada kelalaian yang terjadi dalam pelaksanaan Diksar.
Kemudian pihaknya memberikan hukuman kepada Mahepel untuk membersihkan embung Rusunawa. Untuk masalah pendengaran Faris, pihak Mahepel bersedia bertanggung jawab, pada 24 November 2024, pihak Mahepel bersilahturahmi ke orang tua Faris dan berjalan baik.
“Pada pokoknya kami dekanat siap membantu melanjutkan pemeriksaan terhadap Mahepel dan jika ada aduan dari keluarga PMK atau ada bukti yang menguatkan silakan laporkan,” kata Nairobi.