Bandar Lampung (Lampost.co) — Lembaga Pemerhati Hak Perempuan dan Anak (LPHPA) Lampung menyebut pemerintah daerah (Pemda) kabupaten/kota harus tegas menangani kasus kekerasan seksual. Pasalnya, penanganan persoalan itu masih lemah dan terkesan hanya sebagai simbolis.
Direktur LPHPA Lampung, Toni Fisher, mengatakan program pemerintah terkait pemenuhan hak perempuan dan anak masih bersifat parsial.
“Miris, bahkan geram karena dari tahun ke tahun Lampung masih dalam kondisi darurat. Kadang pemenuhan hak anak dan perempuan cuma sebagai simbolis dam parsial,” ujar Toni, Rabu, 13 Maret 2024.
Penanganan kasus kekerasan seksual di Lampung yang berujung damai juga menjadi catatan buruk bagi pemda. “Selain karena kurang dalam program, regulasi, dan dukungan anggaran, Pemda juga masih terkesan main-main dengan isu ini,” kata dia.
Dia menilai Unit Pelaksana Teknis Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (UPTD PPA) di kabupaten/kota se Lampung masih minim sumber daya manusia (SDM) pelaksana.
BACA JUGA: Dinas PPPA Mesuji Sayangkan Kasus kekerasan Seksual Berujung Damai
“Memang kalau di tingkat provinsi SDM-nya lengkap. Tapi, di kabupaten/kota masih kurang SDM tentang hukum. Bahkan, psikolog klinis baru Lampung Tengah yang punya,” ujar dia.
Menurutnya, predikat kabupaten/kota layak anak (KLA) mestinya memberi jaminan bagi keamanan dan kenyamanan dalam pemenuhan hak-hak anak. Namun, pada kenyataannya masih banyak anak yang menjadi korban kekerasan seksual meski daerahnya menyandang status KLA.
Untuk itu, penguatan peran pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan pemenuhan hak perempuan dan anak sangat penting guna mencegah tindak tersebut.
“Lampung punya tujuh kabupaten/kota dengan predikat KLA Nindya. Harusnya daerah itu punya fokus penanganan. Tapi, sampai Maret ini kelihatan komitmen mereka masih minim,” kata dia.