Bandar Lampung (Lampost.co) — Pengamat Pendidikan Universitas Lampung, Undang Rosidin, menilai pemerintah daerah perlu memiliki regulasi yang jelas untuk memperkuat posisi Bahasa Lampung dalam kurikulum pendidikan.
Menurutnya, pelajaran bahasa daerah tidak boleh sebatas formalitas. Ia menyarankan agar ada aturan yang mewajibkan siswa belajar Bahasa Lampung minimal sekali dalam sepekan. “Bahasa Lampung jangan hanya menjadi formalitas. Harus ada aturan yang mewajibkan, meskipun tidak setiap hari. Minimal sekali seminggu siswa wajibkan belajar. Itu cara efektif menjaga keberlanjutan bahasa daerah,” ujar Undang, beberapa waktu lalu.
Ia menegaskan, bahasa daerah bukan sekadar alat komunikasi, melainkan identitas sekaligus jati diri masyarakat Lampung. Dengan dukungan regulasi yang kuat, pelestarian bahasa diyakini bisa lebih terarah dan berkelanjutan.
“Anak-anak juga perlu bimbingan orang tua. Bahasa Lampung sebaiknya digunakan dalam percakapan sehari-hari. Minimal mereka memahami makna dasarnya, jangan sampai tidak tahu sama sekali,” tambahnya.
Harapan Serupa
Selain akademisi, sejumlah orang tua murid juga menyuarakan harapan serupa. Mereka menilai pelajaran Bahasa Lampung sebaiknya tetapkan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah. Yati (45), salah satu orang tua murid, menyampaikan keprihatinannya. Menurutnya, generasi muda kini lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia ketimbang bahasa daerahnya sendiri.
“Miris rasanya melihat anak-anak sekarang lebih sering berbicara dengan bahasa Indonesia. Bahasa Lampung seakan ditinggalkan, padahal itu warisan budaya dari leluhur kita yang harus dijaga,” ujarnya, Jumat, 5 September 2025.
Ia menambahkan, jika Bahasa Lampung hanya menjadi mata pelajaran pilihan, dikhawatirkan anak-anak akan semakin jauh dari identitas budaya daerah. “Kalau jadikan wajib, setidaknya seminggu sekali mereka tetap bisa belajar, sehingga memahami bahasa dan aksaranya,” kata Yati.
Dengan regulasi yang jelas dan dukungan semua pihak, Bahasa Lampung diharapkan tidak hanya bertahan di ruang kelas, tetapi juga kembali hidup dalam percakapan sehari-hari masyarakat. (Atika Oktaria)