Ubaid mengungkapkan bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi darurat pornografi dan kekerasan seksual terhadap anak.
Menurut data dari National Centre for Missing Exploited Children (NCMEC), Indonesia menempati peringkat keempat terbanyak di dunia untuk kasus konten pornografi anak, dan peringkat kedua di Asia Tenggara.
Dalam situasi seperti ini, Ubaid berpendapat bahwa pemerintah seharusnya fokus memperkuat pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi di sekolah. Bukan menyediakan alat kontrasepsi.
JPPI mendesak agar PP Nomor 28 Tahun 2024 dicabut karena di anggap merusak masa depan anak-anak Indonesia. Ubaid menilai bahwa peraturan ini bisa meningkatkan risiko kekerasan seksual dan paparan pornografi di lingkungan pendidikan.
Selain itu, Ubaid menyoroti bahwa peraturan ini terbuat tanpa melibatkan publik secara luas. Padahal sangat berkaitan dengan kepentingan hidup banyak orang, terutama anak-anak dan orang tua.
Menurut Ubaid, yang siswa butuhkan adalah pendidikan kesehatan reproduksi yang memadai, bukan penyediaan alat kontrasepsi. Penyediaan alat kontrasepsi yang tidak tepat tempat dapat mengakibatkan penyalahgunaan dan peningkatan kasus kekerasan pada anak.
Oleh karena itu, JPPI mendorong penguatan pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah. Anak usia sekolah harus fokus pada proses pendidikan, bukan pada penggunaan alat kontrasepsi.
Ubaid juga menekankan bahwa anak usia sekolah belum di anggap sah untuk memberikan persetujuan seksual (age of consent). Yang seharusnya mengikuti usia sah menikah berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, yaitu 19 tahun. P
enyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah harus ditolak karena lebih banyak menimbulkan bahaya daripada manfaat.
Pendidikan Seksual
Anggota Komisi IX DPR, Arzeti Bilbina, juga mengingatkan bahwa aturan ini bisa menjadi bumerang jika pengawasannya gagal. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini diimbangi dengan pendidikan seksual yang holistik dan sensitif terhadap nilai-nilai masyarakat.
Arzeti meminta pemerintah untuk meninjau ulang aturan tersebut dan memberikan penjelasan yang jelas agar tidak terjadi salah tafsir.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menilai bahwa aturan ini tidak sejalan dengan norma-norma di Indonesia. Anak-anak usia remaja seharusnya tidak melakukan hubungan seksual karena dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mereka.
Arzeti menegaskan bahwa aturan ini tidak boleh menjadi dasar bagi anak-anak muda untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.
Pasal 101 Ayat (1) PP 28 Tahun 2024 mengatur upaya sistem reproduksi sesuai siklus hidup, termasuk kesehatan sistem reproduksi anak usia sekolah dan remaja.
Pada Pasal 103 Ayat (4) menyebukan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi usia sekolah dan remaja meliputi penyediaan alat kontrasepsi.