Jakarta (lampost.co) — Perlu gerak bersama dan political will pemerintah serta partisipasi masyarakat dan komunitas untuk membenahi tata kelola museum yang memperihatinkan saat ini.
“Terbengkalainya museum kita saat ini, karena museum dinilai tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan hajat hidup orang banyak. Persepsi ini merupakan tantangan kita semua,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Tantangan Kebijakan dan Tata Kelola Museum di Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 11 Oktober 2023, dalam rangka menyambut Hari Museum Nasional pada 12 Oktober.
Diskusi yang dimoderatori Irwansyah (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan St. Prabawa Dwi Putranto (Koordinator Cagar Budaya Museum dan Cagar Budaya, Kemendikbudristek RI), Daud Aris Tanudirjo (Dosen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada) dan Erlina Wiyanarti (Dosen Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia) sebagai narasumber.
Selain itu hadir pula Waluyono (Bendahara Umum Asosiasi Museum Indonesia) sebagai penanggap.
Lestari menegaskan, pemahaman sejarah adalah bagian penting dalam proses merawat nilai-nilai kebangsaan yang tidak boleh dilepaskan dari hajat hidup orang banyak di negeri ini.
Keberadaan museum yang baik, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, merupakan bagian dari proses pemahaman sejarah yang sangat penting bagi penanaman nilai-nilai kebangsaan setiap warga negara.
Diakui Rerie, carut marutnya tata kelola museum di Indonesia dewasa ini memerlukan kepedulian dan gerak bersama untuk memperbaikinya.
Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu mendorong peningkatan kepedulian para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah dalam proses perbaikan tata kelola museum menjadi lebih baik.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap segera tumbuh gerakan bersama yang merupakan kolaborasi antara kepedulian yang kuat dari masyarakat dan political will pemerintah. Hal ini dalam mewujudkan pengelolaan museum yang mampu meningkatkan penanaman nilai-nilai kebangsaan pada setiap generasi penerus negeri.
Koordinator Museum dan Cagar Budaya, Kemendikbudristek, St. Prabawa Dwi Putranto mengungkapkan, fungsi dari lembaga yang dipimpinnya antara lain meliputi pengelolaan koleksi, pelestarian cagar budaya, dan koleksi benda seni.
Saat ini, ujar Prabawa, pengelolaan Museum dan Cagar Budaya sudah berbentuk badan layanan umum (BLU) untuk meningkatkan kemandirian pengelolaan museum dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
Selain itu, jelas Prabawa, keberadaan BLU juga merupakan bagian dari upaya pemerintah memperbaiki tata kelola museum.
Tahun Kunjungan Museum
Dosen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirjo mengakui dalam dua dasawarsa terakhir terjadi peningkatan perkembangan yang cukup berarti pada kegiatan permuseuman, sejak diberlakukannya Tahun Kunjungan Museum pada 2010.
Namun, menurut Daud, harus diakui perubahan wajah museum belum dibarengi dengan kebijakan yang memadai.
Permuseuman Indonesia, ujar Daud, kental dengan pengembangan museum secara konvensional, sehingga berpotensi tertinggal dari negara lain.
Kebijakan-kebijakan yang ada saat ini, tegas Daud, seharusnya lebih mendorong untuk memfasilitasi peningkatan pengelolaan museum.
Diakui Daud, saat ini terdapat sejumlah kelemahan dalam pengelolaan museum antara lain terkait kualitas sumber daya manusia (SDM), kemampuan tata kelola museum serta hubungan museum dan masyarakat yang masih rendah.
Kebijakan yang ada saat ini, tegas Daud, kurang diarahkan untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.
Dosen Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia, Erlina Wiyanarti mengakui dirinya terbilang baru dalam permuseuman.
Menurut Erlina, museum itu seharusnya tidak hanya mengupayakan pelestarian benda cagar budaya, tetapi juga sumber pembelajaran bagi masyarakat saat ini dan masa datang.
Pola pengelolaan museum itu, ujar Erlina, harus merespon apa yang diinginkan pengunjungnya. Menurut dia, bentuk BLU dan membangun potensi kewirausahaan dalam pengelolaan museum menjadi energi baru dalam mewujudkan museum yang lebih baik.
Erlina juga mendorong agar museum bisa menjadi sumber belajar bagi generasi muda melalui pemanfaatan platform digital.
Bendahara Umum Asosiasi Museum Indonesia, Waluyono berpendapat seyogianya yang perlu diapresiasi adalah museum di seluruh Indonesia, bukan hanya museum yang dikelola pemerintah.
Hal ini karena, ungkap Waluyono, dengan dialihkannya sejumlah kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, pengelolaan museum dan taman budaya di daerah banyak yang terbengkalai.
Pembentukan BLU dalam pengelolaan museum, menurut Waluyono, merupakan langkah yang tidak tepat. “Bagaimana dengan tiket Rp5.000 pengelolaannya berbentuk BLU. Ini salah kaprah,” ujarnya.
Perbaikan tata kelola museum, tegas Waluyono, seharusnya melibatkan para pemangku kepentingan dan masyarakat yang lebih memahami permasalahan di lapangan.
Di akhir diskusi, wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat, kalau nilainya yang tinggi bukan bendanya, mestinya kedudukan rumahnya harus tinggi.
Sehingga, ujar Saur, bila pejabat pengelola museum saat ini setingkat eselon 3, tetapi nilai museum lebih tinggi pasti terjadi ketidaksesuaian.
Jadi, menurut Saur, bila saat ini ada Badan Restorasi Gambut untuk merevitalisasi jutaan hektare lahan gambut, mengapa untuk museum pemerintah tidak bisa membentuk badan serupa yang bertanggung jawab kepada presiden. “Kalau kita pandang museum memiliki peran yang penting, harus ada penataan ulang kebijakan pengelolaan museum yang ada saat ini,” pungkasnya.
Ricky Marly