Bandar Lampung (Lampost.co)–Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu masalah yang serius di tengah masyarakat.
Kriminolog Unila, Teuku Fahmi, mengindikasikan fenomena kekerasan seksual yang cenderung korbannya adalah perempuan dan anak. Bukanlah peristiwa yang bersifat insidental, melainkan sebuah siklus yang terus berulang.
“Dalam artian, meskipun telah dilakukan serangkaian upaya pencegahan dan penanganan. Kasus-kasus kekerasan serupa akan terus muncul kepermukaan dengan intensitas yang tergolong tinggi,” katanya, Rabu, 25 September 2024.
Berdasar kajian kriminologi, menurutnya memang jikalau perempuan dan anak merupakan kelompok rentan menjadi korban kejahatan kekerasan seksual.
Hal ini juga terkonfirmasi dengan meningkatnya kasus perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan seksual, baik itu area publik. Seperti sekolah/institusi pendidikan lainnya, area sekitaran permukiman, tempat bermain. Maupun dilingkungan domestik rumah/tempat tinggal.
Ia menyebut beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
“Peetama tingkat individu, mencakup pelaku yang mungkin saja memiliki gangguan kepribadian (psikopat atau pedofilia); pelaku yang memiliki riwayat paparan kekerasan seksual di masa lalu. Kerentanan perempuan dan anak terkhusus mereka yang menyandang disabilitas membuat individu lebih rentan atau berisiko terhadap eksploitasi secara seksual,” ungkapnya.
Lalu yang kedua faktor kedekatan hubungan, adanya relasi kuasa yang tidak seimbang di antara pasangan sehingga menciptakan hubungan yang tidak setara bahkan mendominasi.
“Banyak pasangan yang menganggap kekerasan fisik, emosional, dan psikologis sebagai hal yang biasa dalam jalinan hubungan mereka dan hal ini cukup berisiko hingga dapat meningkat menjadi kekerasan seksual,” tuturnya.
Lalu terakhir tingkat komunitas yang mencakup ketimpangan gender,kepercayaan dan budaya tertentu yang membenarkan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Yang akhirnya kontrol sosial yang lemah juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kekerasan seksual,” terangnya.
Pendekatan Persuasif
Menurut Fahmi pengganggulangan kekerasan seksual yakni pentingnya keterpaduan antara pendekatan represif dan preventif.
Terkhusus pada tindakan preventif, hal pertama yang menurutnya perlu dipastikan ialah adanya regulasi yang jelas. Tentang hak dan kewajiban warga negara berkenaan dengan pengaturan hukum kekerasan seksual.
“Dalam hal ini, negara mesti memastikan kembali apakah regulasi yang mengatur mengenai isu kekerasan seksual ini sudah benar-benar mengakomodir kebutuhan masyarakat.
Jika belum, regulasi yang ada saat ini sudah selayaknya melakukan ‘pembaharuan hukum’ kembali. Misalnya apakah tertera bagaimana peran keluarga, lingkup ketetanggaan RT/RW/lingkungan.
Institusi pendidikan, kelembangaan desa/kelurahan, organisasi masyarakat sipil, dan sebagainya sudah mendapatkan kerangka hukum yang jelas. Agar bisa terlibat jauh dalam mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual ini,” jelasnya.
Lalu tindakan preventif kedua adalah penting dilakukannya sosialisasi yang terus menerus tentang regulasi tersebut. Fahmi menyebut aspek ini juga sangat krusial untuk menjalankan sebagai langkah preventif.
“Bisa jadi ada banyak kalangan warga masyarakat belum paham hukum yang mengatur isu kekerasan seksual ini. Baik dari aspek pendefinisian’apa itu kekerasan seksual’ potensi risiko menjadi korban kekerasan seksual,” ucapnya.
Apalagi kasus ini banyak menimpa kaum perempuan dan anak remaja sebagai korbannya. Oleh karenanya institusi pendidikan memiliki andil penting dalam mengedukasi para anak/remaja mengenai isu kekerasan seksual.