Bandar Lampung (Lampost.co) — Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permen Dikdasmen) Nomor. 1 Tahun 2025 berencana melakukan redistribusi guru ASN ke sekolah atau madrasah swasta. Kebijakan itu rencananya akan terimplementasikan pada November mendatang.
Rencana itu mendapatkan respon penolakan dari sejumlah organisasi profesi guru yang tergabung dalam Koalisi Barisan (Kobar) Guru Indonesia. Wacana tersebut teranggap bakal menimbulkan permasalahan baru yang akan muncul.
Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI), Soeparman Mardjoeki Nahali mengungkapkan. Peraturan itu memang muncul dari permintaan sejumlah sekolah swasta yang kehilangan guru karena menjadi guru PPPK.
“Kebijakan itu tidak menyelesaikan akar masalah yang terjadi. Saat ini satuan pendidikan swasta banyak yang kekurangan murid akibat persoalan demografi dan kebijakan pemerintah,” katanya, Kamis, 24 Juli 2025.
Akibatnya banyak guru yang kehilangan tunjangan profesinya (TPG) dan berkurangnya bantuan operasional sekolah (BOS). Karena TPG dan BOS mempengaruhi oleh jumlah murid. Situasi ini semakin memperumit redistribusi guru.
“Ternyata bukan hanya guru ASN yang perlu redistribusi. Guru swasta pun memerlukan redistribusi agar tidak terkena PHK dan kehilangan tunjangannya,” katanya.
Kecemburuan Sosial
Sementara Wakil Koordinator Advokasi Perkumpulan Pendidik Geografi Nusantara, Laili Hadiati juga berpendapat. Ia mengkhawatirkan program redistribusi guru ASN ke sekolah swasta dapat menimbulkan kecemburuan sosial.
Kedatangan guru ASN ke sekolah swasta bakal menciptakan diskriminasi baru. Sebab biasanya guru ASN akan memperoleh prioritas untuk memperoleh posisi penting. Seperti menjadi kepala sekolah dan pemenuhan jumlah jam mengajarnya.
Sebaliknya dampak negatif bisa juga teralami oleh guru ASN saat menjalani redistribusi. Mereka harus berbagi jam mengajar dengan guru yang sudah eksis pada sekolah tersebut. Jika rombongan belajarnya sedikit maka guru ASN akan menghadapi masalah dengan tunjangan profesinya.
“Jarak tempuh dari rumahnya ke sekolah yang baru juga bakal menimbulkan masalah baru. Belum lagi mereka akan repot dengan pekerjaan tambahan mencari murid baru setiap pergantian tahun ajaran,” jelasnya.
Kemudian Ketua Dewan Penasehat Forum Martabat Guru Indonesia Provinsi Lampung, Gino Vanollie menambahkan. Ia menekankan perlunya koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Ini untuk mengatasi kekurangan guru secara komprehensif.
“Harus siap secara matang dan jangan terkesan reaksioner,” tegasnya.
Selanjutnya LPTK sebagai lembaga penghasil calon guru juga harus dilibatkan. Sehingga akan terpetakan dengan baik satuan pendidikan dan daerah mana saja yang kekurangan guru. Sekaligus menghitung jumlah calon guru yang dapat mengisi kekosongan guru tersebut.
Kemudian Gino Vanollie mengingatkan bahwa praktik terbaik dari sejumlah pemerintah daerah yang sudah melibatkan sekolah swasta. Ini untuk memenuhi kuota penerimaan murid baru dapat menjadi contoh untuk memperbaiki sistem pemenuhan guru sekolah swasta.
“Pemerintah pusat cukup menjadi fasilitator yang baik bagi pemerintahan daerah. Agar tetap berkomitmen menjalani fungsi otonomi daerah desentralisasi. Untuk menuntaskan persoalan kekurangan guru daerahnya masing-masing,” katanya.