Jakarta (Lampost.co): Komisi X DPR mengkritik kebijakan pemecatan seratusan guru honor di Jakarta secara sepihak melalui sistem ‘cleansing’ atau ‘pembersihan’. DPR menilai sebutan cleansing sadis.
“Cleansing itu kata yang terlalu sadis, cleansing itu kan pembersihan atau seperti membasmi. Itu tidak boleh,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf melalui keterangan tertulis, Minggu, 21 Juli 2024.
Baca juga: Pengelolaan Bank Sampah Harus Berkelanjutan
Dia mengatakan pemecatan guru honor tidak sesuai dengan semangat yang tengah negara lakukan, terkait perbaikan nasib guru honorer. Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN telah menegaskan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan penataan tenaga non-ASN paling lambat Desember 2024.
“Artinya seharusnya nasib tenaga honor, termasuk guru honor, bisa membaik. Bukan justru mengalami kemunduran,” ujar dia.
Dede mengatakan Dinas Pendidikan Jakarta juga harus mengetahui alasan sejumlah sekolah menerima guru honorer. Dia yakin hal itu berkaitan dengan kurangnya tenaga pengajar.
“Seharusnya Dinas Pendidikan juga bisa mencari tahu kenapa sekolah-sekolah mengangkat para guru honor ini. Mungkin karena beban sekolah yang sudah terlalu besar, sehingga membutuhkan tambahan guru yang belum bisa diakomodasi oleh pemerintah,” ucap Dede.
Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat itu menekankan bahwa pemecatan guru honorer menyebabkan dampak negatif. Sekolah akan kekurangan guru dan kegiatan belajar mengajar terganggu.
“Pada akhirnya anak-anak yang akan dirugikan. Apalagi ini baru memasuki tahun ajaran baru sekolah,” ujar Dede.
Ikuti terus berita dan artikel Lampost.co lainnya di Google News.