“Memang ada pandangan yang berkontra, karena satu sisi dari kesehatan dan sisi lain dari etik atau agama. Selama itu tidak akan bertemu,” kata Moeldoko di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.
Ia mendorong otoritas terkait, termasuk Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, untuk mencari jalan tengah yang dapat mengakomodasi kedua perspektif tersebut.
“Namun, harus ada jalan tengah, harus ada solusinya,” ujarnya.
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Mohammad Syahril menjelaskan ketentuan tentang alat kontrasepsi adalah bagian dari edukasi kesehatan reproduksi melalui penggunaan kontrasepsi pelajar.
Syahril menegaskanpenyediaan alat kontrasepsi tidak di tujukan untuk semua remaja. Melainkan hanya bagi remaja yang sudah menikah, dengan tujuan menunda kehamilan sampai calon ibu siap secara ekonomi dan kesehatan.
“Penyediaan alat kontrasepsi itu hanya di berikan kepada remaja yang sudah menikah untuk dapat menunda kehamilan hingga usia yang aman untuk hamil,” jelasnya.
Pihaknya menambahkan pernikahan dini meningkatkan risiko kematian ibu dan anak, serta risiko stunting pada anak yang lahir.
PP tersebut menargetkan pelayanan alat kontrasepsi kepada pasangan usia subur dan kelompok usia subur yang berisiko. Sehingga alat kontrasepsi tidak di berikan kepada semua remaja.
Ia juga mengingatkan masyarakat agar tidak salah persepsi dalam menginterpretasikan PP tersebut. Aturan itu akan di perjelas dalam rancangan Peraturan Menteri Kesehatan sebagai turunan dari PP tersebut. Juga akan menjelaskan edukasi tentang keluarga berencana bagi anak usia sekolah dan remaja sesuai dengan tahapan perkembangan dan usia anak.
Suara Masyarakat
Terpisah, Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyatakan pemerintah harus mendengarkan suara masyarakat. Sebab, peraturan ini sangat berhubungan dengan kehidupan mereka.
Proses pembahasannya pun dinilai kurang partisipatif dan tidak melibatkan masyarakat secara luas.
“Daripada bertentangan dengan tatanan sosial di sekolah dan merusak moralitas anak-anak, sebaiknya aturan ini dicabut dan dibahas kembali dengan melibatkan partisipasi yang lebih luas,” ujarnya pada, Selasa, 6 Agustus.
Saat ini, Indonesia menghadapi kondisi darurat pornografi dan kekerasan seksual terhadap anak. Data dari National Centre for Missing Exploited Children (NCMEC).
Di sana menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jumlah kasus konten pornografi anak tertinggi keempat di dunia dan peringkat kedua di Asia Tenggara. “Dalam situasi seperti ini, seharusnya pemerintah memperkuat pendidikan seksual dan penyuluhan kesehatan reproduksi di sekolah, daripada menyediakan alat kontrasepsi,” tegas Ubaid.
JPPI mendesak agar PP 28/2024 di cabut karena dianggap merusak masa depan anak-anak Indonesia. Jika aturan ini di paksakan, anak-anak akan semakin terpapar kekerasan seksual dan pornografi di lembaga pendidikan.
Selain itu, aturan ini terbuat tanpa partisipasi publik yang luas, padahal sangat berhubungan dengan kehidupan banyak orang, terutama orang tua dan anak-anak usia sekolah.