Jakarta (Lampost.co)—Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengkritisi atas masih belum tercapainya target perekrutan satu juta guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang menjadi program Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Padahal waktu yang tersisa dari pemerintahan Presidan Joko Widodo – Maruf Amin kurang dari satu tahun lagi menjelang berakhir.
Persoalan rekrutmen guru PPPK ini masuk menjadi salah satu dari 8 catatan akhir tahun kebijakan pendidikan dan guru yang dirilis P2G.
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim mengatakan, pada prinsipnya P2G mengapresiasi upaya Kemdikbudristek, Kemenag, dan Panselnas dalam melaksanakan perekrutan guru PPPK. Namun harus diakui, target perekrutan 1 juta guru belum juga tercapai hingga hari ini.
Seleksi Guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) gelombang ketiga tahun 2023 lolos seleksi sebanyak 250.432 orang. Tahun sebelumnya 2021-2022 berhasil merekrut 544.292 guru.
Artinya guru yang berhasil direkrut oleh pemerintah melalui skema PPPK baru 794.724 orang. “Namun kami sangat menyesalkan masih ada ribuan guru sudah lolos passing grade (PG) yang nilainya di atas ambang batas (istilah P-1), sejak 2021, dijanjikan akan diberi formasi pada 2022 lalu 2023, dan kini dijanjikan kembali mendapatkan formasi pada 2024 nanti,” ungkap Satriwan Salim dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu, 30 Desember 2023.
Satriwan melanjutkan, P2G juga sangat menyayangkan Pemda yang hanya mengajukan 296.059 formasi guru PPPK dari 601.174 formasi yang dibutuhkan.
“Faktanya selalu berulang begini, kekurangan guru ASN akan terus terjadi, sekolah serta pemda kembali akan merekrut guru honorer karena kebutuhan tak terpenuhi. Begitu saja seterusnya, lingkaran setan,” kata Satriwan.
Ribuan guru P-1 tersebut nasibnya tidak jelas, nasib mereka digantung. Menurut Satriwan, jika berazaskan keadilan, maka negara sudah seharusnya mengganti rugi biaya hidup mereka, akibat ketidakpastian formasi karena amburadulnya manajemen guru PPPK.
Solusi dari Mendikbudristek Nadiem Makarim melalui “Marketplace Guru” yang dikoreksi menjadi “Talent pool” hanya menjadi bumerang karena menutup mata dari masalah sebenarnya. Menurut Satriwan, ada ketidakselarasan antara kebijakan guru PPPK antara pemerintah pusat dan daerah, serta lemahnya pemutakhiran data, yang seharusnya bukan masalah bagi menteri dengan latar belakang pelopor perusahaan teknologi digital.
Nurjanah