Jakarta (Lampost.co) — Jumlah korban tewas di Vietnam akibat Topan Yagi telah meningkat menjadi 262 orang. Itu setelah tim penyelamat menemukan 29 mayat pada Sabtu (14/9).
Lebih dari 820 orang terluka dan 83 orang masih hilang, VN Express melaporkan, mengutip badan manajemen bencana negara. Topan Yagi minggu lalu memicu hujan lebat, banjir, dan tanah longsor di pantai timur laut Vietnam.
Pihak berwenang masih mencari 41 orang yang hilang setelah banjir besar menyapu 37 rumah di desa Nu di provinsi pegunungan utara Lao Cai.
Baca juga: Temui Presiden Vietnam, Prabowo Janji Indonesia Bantu Korban Topan Yagi
Sekitar 46 orang lainnya juga dipastikan tewas dari desa tersebut, kata laporan itu.
Sekitar 115 orang di desa lain di Lao Cai, yang dinyatakan hilang, kembali dengan selamat setelah berlindung di gunung selama dua hari.
Lebih dari 130 ribu orang telah dievakuasi, sementara hampir 137.000 rumah rusak. Topan tersebut juga merusak infrastruktur, merobohkan tiang-tiang telekomunikasi, dan menumbangkan pepohonan di wilayah perkotaan.
Perusahaan asuransi juga menerima lebih dari US$285 juta dalam klaim kerusakan akibat topan, kata Kementerian Keuangan negara itu.
Badai dan Banjir Myanmar
Sementara itu, jumlah korban tewas di Myanmar setelah Topan Yagi melonjak menjadi 74 orang. 89 orang masih di nyatakan hilang, Minggu (15/9).
Media pemerintah Global New Light of Myanmar melaporkan bencana banjir dan tanah longsor telah menewaskan hampir 350 orang di Myanmar, Vietnam, Laos dan Thailand setelah Topan Yagi melewati wilayah tersebut akhir pekan lalu.
“Operasi pencarian dan penyelamatan masih berlangsung,” katanya.
Berdasarkan data resmi, banjir telah menghancurkan lebih dari 65.000 rumah dan lima bendungan. Jumlah korban tewas junta sebelumnya adalah 33 orang, dengan lebih dari 235.000 orang mengungsi.
Sebagian besar lahan pertanian telah terendam banjir di wilayah tengah, termasuk di sekitar ibu kota dataran rendah Naypyidaw.
Ada laporan mengenai tanah longsor di daerah perbukitan, namun dengan rusaknya jalan dan jembatan serta terputusnya saluran telepon dan internet, pengumpulan informasi menjadi sulit.
Banjir telah menambah kesengsaraan di negara yang terjadi perang sejak militer merebut kekuasaan pada tahun 2021. Di mana lebih dari 2,7 juta orang telah mengungsi di Myanmar akibat konflik tersebut.
Pemimpin junta Myanmar mengajukan permintaan bantuan asing untuk mengatasi banjir. Padahal sebelumnya mereka telah memblokir atau menggagalkan bantuan kemanusiaan dari luar negeri.
Tahun lalu mereka menangguhkan izin perjalanan bagi kelompok bantuan yang mencoba menjangkau sekitar satu juta korban Topan Mocha yang melanda bagian barat negara itu.