Jakarta (Lampost.co) — Presiden Prabowo Subianto bersama Presiden Tiongkok Xi Jinping telah menyaksikan penandatanganan sejumlah kesepakatan kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok.
Penandatanganan tersebut dianggap sebagai kekeliruan karena sama saja pemerintahan Prabowo mengakui klaim kedaulatan Tiongkok dekat Laut Natuna yang masih merupakan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
“Tetapi ini justru ada kekeliruan, karena sebenarnya Indonesia dengan Tiongkok itu tidak ada tumpang tindih wilayah,” kata Peneliti senior di Pusat Kebijakan Laut Berkelanjutan di Universitas Indonesia, Aristyo Rizka Darmawan mengutip Mediaindonesia.com, Senin, (11/11/2024).
Baca juga: Presiden Prabowo Temui Zhao Leji Bahas Kerja Sama Indonesia-China
Sebelumnya, situs berita Bloomberg melaporkan Xi dan Prabowo memimpin penandatanganan beberapa dokumen dan nota kesepahaman Sabtu (10/11/2024).
Kesepakatan tersebut mencakup pengembangan bersama perikanan dan minyak serta gas di wilayah maritim yang klaimnya tumpang tindih antara kedua negara. Serta keselamatan maritim, memperdalam kerja sama dalam ekonomi biru, sumber daya air dan mineral, serta mineral hijau.
Aristyo menambahkan, penandatanganan beberapa dokumen dan nota kesepahaman itu amatlah berbahaya. Betapa tidak, pemerintahan terdahulu tidak pernah mengakui klaim Tiongkok apalagi sampai melakukan kesepakatan.
“Menurut saya ini agak berbahaya, kebijakan Presiden Jokowi sebelumnya ketika Retno Marsudi menjadi menteri luar negeri, kita nggak pernah mengakui klaim ada overlapping atau bertumpang tindih dengan Tiongkok,” sebutnya.
Permasalahan Fundamental
Aristyo menyebut langkah Prabowo melahirkan permasalahan yang fundamental. Indonesia seharusnya tidak perlu joint development dengan Tiongkok mengingat tidak pernah ada overlapping claim.
“Ini justru merugikan kita, kita yang punya klaim sah berdasarkan hukum internasional. Kok kita mau joint development dengan Tiongkok yang klaimnya tidak sah berdasarkan hukum internasional? Ini justru merugikan kita,” paparnya.
Ia juga mengatakan kondisi yang terjadi pascapenandatangan sangatlah berbahaya. Pasalnya, Prabowo membuat join agreement dengan dasar yang bertentangan dengan hukum internasional. Hal itu berpotensi merugikan Indonesia.
“Karena kita punya hak berdaulat sepernuhnya terhadap SDA yang ada di Laut Natuna Utara. Baik di kolom laut atau minyak dan buminya. Jika kita buat join agreement, artinya kita berbagi dengan Tiongkok padahal mereka tidak punya hak sama sekali,” kata dia.
Dia menambahkan Indonesia juga menolak istilah perairan terkait atau relevant waters yang Tiongkok gunakan untuk merujuk pada wilayah di sekitar perairan yang mereka klaim di Laut China Selatan.
“Tiongkok tidak punya overlapping claims dengan Indonesia. Tapi kita mau buat kesepakatan dan berbagi di wilayah yang mereka klaim secara tidak sah secara hukum internasional. Ini sangat berbahaya,” kritik Aristyo.
Meski berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, Indonesia tidak memiliki sengketa wilayah dengan Tiongkok di perairan tersebut.
“Posisi ini sudah jelas bahwa Indonesia dengan Tiongkok tidak ada tumpang tindih wilayah. Karena kita punya legitimate claims berdasarkan hukum internasional tapi itu overlap dengan klaim Tiongkok yang ilegal,” sebutnya.
Menurutnya, klaim historis Beijing soal perairan tersebut tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh hukum internasional. “Ketika kita mengakui punya tumpang tindih wilayah dengan Tiongkok. Maka sebenarnya kita mengakui klaim Tiongkok yang tidak berdasarkan hukum Internasional,” kata dia.