Jakarta (Lampost.co)— Upaya memperjuangkan hak-hak bangsa Palestina harus konsisten berjalan sebagai bagian dari pelaksanaan nilai-nilai Pancasila yang menjujung tinggi kemanusiaan.
“Solidaritas pada yang tertindas, menderita,termarjinalkan dan mengalami subordinasi. Ini merupakan panggilan kemanusiaan yang menembus semua sekat perbedaan dan setiap struktur kuasa,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat di Denpasar 12, Rabu, 12 Juni 2024.
Menurut Lestari, dalam kapasitas kemanusiaan kita, setiap bentuk normalisasi pada kekerasan tidak dapat kita terima dengan alasan apa pun.
Baca juga: Museum sebagai Entitas Pelestari Warisan Sejarah dan Budaya
Perempuan Pancasila, kita simpulkan sebagai perempuan yang mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap pergerakan dan perjuangannya.
Nilai-nilai Pancasila, tambah Rerie, memiliki intisari nilai gotong-royong yang mengandung makna solidaritas dan keramahan.
Berbekal semangat membangun solidaritas antarumat manusia, ia berharap perempuan Indonesia dapat berperan aktif dengan berbagai cara dalam upaya penegakan hak-hak masyarakat dan kemerdekaan bangsa Palestina.
Anggota DPR RI, Willy Aditya, mengungkapkan krisis kemanusiaan di Palestina itu justru pemicunya adalah krisis kemanusiaan yang terjadi pada para pemimpin Israel tanpa pandang bulu membombardir Palestina.
Sejatinya, menurut Willy, bukan bangsa Palestina yang paling bertanggung jawab atas derita bangsa Yahudi. Bangsa Eropa lah, yang seharusnya bertanggungjawab.
Kenyataannya, jelas Willy, dunia internasional tidak mampu menghentikan konflik yang terjadi di Palestina.
Konflik yang Terjadi
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani berpendapat, berkepanjangannya konflik Palestina-Israel memperlihatkan bahwa mekanisme yang menegakkan pasca-Perang Dunia ke 2 tidak mampu merespon dengan baik konflik-konflik yang terjadi.
Menurut Andy, perang dan konflik bukan barang baru dan secara umum memiliki konstruksi yang sangat maskulin. Karena satu pihak harus menaklukan yang lainnya. Menurutnya, perlu ada konstruksi powersharing.
Karena konstruksinya maskulin, pihak selain maskulin, seperti perempuan dan anak, banyak menjadi korban dalam beragam konflik.
Di sisi lain, ujar Andy, di tengah situasi perempuan menjadi korban, sejumlah perempuan pun ada yang menjadi kombatan untuk ikut bertempur. Serta menjadi bagian dari pasukan perdamaian dalam proses menghentikan konflik.
Andy berharap, sejumlah upaya seperti cegah kontak senjata, bantuan terhadap pengungsi dan mencegah kekerasan berbasis gender, harus konsisten kita lakukan.
Selain itu, pemerintah Indonesia harus terus mendorong agar pihak yang berkonflik mereformasi konstitusinya. Untuk mewujudkan hidup damai berdampingan yang bermartabat.
Isu Gender
Kepala Pusat Riset Politik, BRIN, Athiqah Nur Alami berpendapat perang Palestina-Israel sangat kental dengan isu gender terkait kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak.
Athiqah mengakui, saat ini Israel masuk dalam black list negara yang menciptakan jumlah korban anak-anak dan perempuan dalam perang.
UN report on Children in Armed Conflict mencatat, tambah dia, jumlah korban sejak 7 Okt 2023 sekitar 13.000 anak dan 9.000 perempuan meninggal dan luka-luka.
Jadi, menurut Athiqah, dalih self defense yang dilontarkan Israel saat menyerang Palestina sudah tidak valid lagi. Karena serangan Israel mengarah ke genosida.
Pakar Geopolitik Timur Tengah, Dina Y. Sulaeman berpendapat untuk mengetahui cara mengadvokasi korban konflik Israel-Palestina harus tahu posisi perempuan dan anak.
Pemerintah Indonesia, ujar Dina, selalu berpendapat bahwa Palestina itu belum merdeka. Jadi perempuan dan anak Palestina adalah manusia yang belum merdeka dan wilayahnya sedang diduduki.
Dina mengaku sejak awal kedatangan bangsa Yahudi ke tanah Palestina memang merupakan aksi kolonialisme dengan melakukan perpindahan penduduk lalu mereka menetap di negara jajahan dan mereka berupaya mengontrol kekuasaan.
Dengan posisi seperti itu, menurut Dina, tentu tidak ada yang salah dengan perjuangan orang-orang Palestina untuk merdeka dengan cara apa pun.
Selain itu, menurut Dina, untuk mengadvokasi perempuan Palestina harus berlandaskan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Menurut Dina, sejumlah aksi kekerasan sudah dilakukan oleh Israel sebagai penjajah. Seharusnya, tegas dia, bukan peace keeping yang mengupayakan, tetapi menghentikan kekerasan terhadap kemanusiaan yang dilakukan negara terhadap negara lain.