Teheran (Lampost.co)—Ismail Haniyeh, kepala kelompok pejuang Palestina Hamas, tewas dalam serangan Israel di kediamannya di Teheran, Iran, Rabu (31/7/2024) pagi. Hamas mengonfirmasi langsung kematiannya.
Salah satu pengawal Haniyeh juga tewas dalam serangan tersebut.
“Serangan itu terjadi Rabu pagi. Penyelidikan sedang berlangsung untuk menemukan penyebab insiden tersebut,” sebut pernyataan Departemen Hubungan Masyarakat IRGC.
Politikus Palestina
Mengutip Britannica, Ismail Haniyeh adalah seorang politikus Palestina dan pemimpin Hamas yang menjabat perdana menteri Otoritas Palestina (PA) tahun 2006–2007. Itu terjadi setelah Hamas memenangkan mayoritas kursi dalam pemilihan legislatif Palestina tahun 2006.
Setelah pertikaian antarfaksi dengan rivalnya Fatah menyebabkan pembubaran pemerintah dan pembentukan pemerintahan otonom pimpinan Hamas di Jalur Gaza, Haniyeh menjabat sebagai pemimpin pemerintahan de facto di Jalur Gaza (2007–2014).
Pada tahun 2017, ia dipilih untuk menggantikan Khaled Meshaal sebagai kepala biro politik Hamas.
Kehidupan Ismail Haniyeh
Putra dari orang tua Arab Palestina yang mengungsi dari desa mereka di dekat Ashqelon (di wilayah yang sekarang menjadi Israel) pada tahun 1948, Haniyeh menghabiskan masa kecilnya di kamp pengungsi Al-Shati di Jalur Gaza, tempat ia lahir.
Seperti anak-anak pengungsi lain, Haniyeh belajar di sekolah-sekolah di bawah pengelolaan Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), yang juga menyediakan bantuan makanan dan obat-obatan bagi penduduk kamp tersebut.
Pada tahun 1981, Haniyeh mendaftar di Universitas Islam Gaza, tempat ia belajar sastra Arab. Ia juga aktif dalam politik mahasiswa, memimpin perkumpulan mahasiswa Islam yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin.
Ketika kelompok Islamis Hamas terbentuk pada tahun 1988, Haniyeh termasuk di antara anggota pendiri yang lebih muda, setelah mengembangkan hubungan dekat dengan pemimpin spiritual kelompok tersebut, Sheikh Ahmed Yassin.
Otoritas Israel menangkap Haniyeh pada tahun 1988 dan memenjarakan selama enam bulan karena partisipasinya dalam intifada pertama (pemberontakan melawan pendudukan Israel).
Israel kembali menangkap Haniyeh pada tahun 1989 dan tetap di penjara sampai Israel mendeportasinya ke Lebanon Selatan pada tahun 1992 bersama dengan sekitar 400 penganut Islam lainnya. Haniyeh kembali ke Gaza pada tahun 1993 setelah Perjanjian Oslo. Dia kemudian menjadi dekan Universitas Islam.
Perdana Menteri PA dan Pemimpin Hamas
Peran kepemimpinan Haniyeh di Hamas berakar pada tahun 1997 ketika dia menjadi sekretaris pribadi Yassin. Dia tetap menjadi orang kepercayaan dekat pemimpin spiritual itu selama sisa hidup Yassin. Keduanya menjadi target percobaan pembunuhan yang gagal oleh Israel pada tahun 2003, meskipun Yassin terbunuh hanya beberapa bulan kemudian.
Pada tahun 2006 Hamas berpartisipasi dalam pemilihan legislatif Palestina, dengan Haniyeh memimpin daftar tersebut. Kelompok tersebut memenangkan mayoritas kursi di parlemen dan Haniyeh menjadi perdana menteri PA.
Komunitas internasional bereaksi terhadap kepemimpinan Hamas dengan membekukan bantuan kepada PA. Hal itu memberikan tekanan finansial yang signifikan pada badan pemerintahan tersebut. Pada Juni 2007, setelah berbulan-bulan ketegangan yang mencakup konflik bersenjata antarfaksi-faksi tersebut, Presiden Mahmoud Abbas dari Partai Fatah memecat Haniyeh dan membubarkan pemerintahannya.
Hasil dari kebuntuan tersebut adalah pemerintahan otonom pimpinan Hamas berdiri di Jalur Gaza dan Haniyeh menjadi pimpinannya. Segera setelah itu, Israel menerapkan paket sanksi dan pembatasan di Jalur Gaza, yang diikuti Mesir. Setelah serangkaian roket diluncurkan dari Jalur Gaza ke Israel pada Januari 2008, Israel mengintensifkan blokadenya.
Pada Desember 2019, Haniyeh meninggalkan Jalur Gaza dan mulai tinggal di Turki dan Qatar, memfasilitasi kemampuannya mewakili Hamas di luar negeri. Di antara kunjungannya yang paling terkenal adalah pemakaman Qassem Soleimani, seorang komandan tinggi Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) yang terbunuh oleh serangan pesawat tak berawak AS pada Januari 2020. Kemudian pelantikan Presiden Iran Ebrahim Raisi pada Agustus 2021.
Akhir bulan itu, saat pasukan AS mundur dari Afghanistan, Haniyeh menelepon pemimpin Taliban Abdul Ghani Baradar. Dia memberi selamat kepadanya atas berakhirnya kehadiran AS di negara itu. Pada Oktober 2022, Haniyeh bertemu dengan Presiden Suriah Bashar al-Assad, pertemuan pertama antara para pemimpin Hamas dan Suriah sejak Hamas memutuskan hubungan selama pemberontakan Suriah.
Pimpin Delegasi Hamas
Selama Perang Israel-Hamas, Haniyeh memimpin delegasi Hamas dalam negosiasi dengan mediasi Qatar dan Mesir. Pada April 2024, di tengah serangkaian negosiasi gencatan senjata, tiga anak Haniyeh dan empat cucunya tewas dalam serangan Israel.
Pada Mei, jaksa agung Pengadilan Kriminal Internasional mengumumkan ia akan mengajukan surat perintah penangkapan untuk Haniyeh, Sinwar, dan komandan Hamas Mohammed Deif, serta untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.