Jakarta (Lampost.co) — Pada 6 Agustus 2024, Hamas mengumumkan penunjukan Yahya Sinwar sebagai pemimpin baru biro politiknya. Sinwar menggantikan Ismail Haniyeh yang tewas dalam serangan Israel di Teheran, Iran. Penunjukan ini menandai perubahan signifikan dalam kepemimpinan Hamas dan meningkatkan ketegangan di kawasan tersebut.
Siapa Yahya Sinwar?
Yahya Sinwar, yang terkenal dengan nama panggilan Abu Ibrahim, lahir di kamp pengungsi Khan Younis di Jalur Gaza selatan. Orang tuanya adalah pengungsi Palestina dari Ashkelon setelah peristiwa Nakba pada 1948.
Ia menempuh pendidikan di Universitas Islam Gaza dan memiliki latar belakang dalam studi bahasa Arab. Karier politiknya berawal pada usia 20-an, ketika ia menjadi salah satu pendiri organisasi keamanan internal Hamas, al-Majd. Organisasi itu terkenal karena menghukum orang-orang yang dituduh sebagai kolaborator Israel.
Baca juga: Iran Sebut Pembunuhan Haniyeh dengan “Proyektil Jarak Pendek”
Israel pertama kali menangkap Sinwar pada 1982 karena keterlibatannya dalam aktivitas Islamis. Pada 1988, ia Israel kembali menangkapnya dan mendapat hukuman empat kali seumur hidup atas pembunuhan dua tentara Israel. Serta keterlibatannya dalam pembunuhan 12 warga Palestina yang tertuduh sebagai mata-mata.
Setelah 23 tahun di penjara, Sinwar bebas pada 2011 sebagai bagian dari pertukaran tahanan dengan Gilad Shalit, seorang tentara Israel yang Hamas tangkap.
Setelah pembebasannya, Sinwar dengan cepat naik ke posisi kepemimpinan dalam Hamas. Pada 2017, ia terpilih sebagai pemimpin biro politik Hamas di Jalur Gaza. Sinwar tokoh yang sangat militan, dengan fokus kuat pada perlawanan bersenjata terhadap Israel. Ia juga memiliki hubungan erat dengan Brigade Izzedine al-Qassam, sayap militer Hamas.
Peran Sinwar dalam Hamas dan Dampaknya
Penunjukan Sinwar sebagai pemimpin baru Hamas memperkuat posisi kelompok ini sebagai gerakan perlawanan yang militan. Sebagai mantan kepala badan intelijen Hamas, Sinwar memiliki pengetahuan mendalam tentang struktur internal kelompok tersebut serta kemampuan untuk menggerakkan sumber daya militer. Dia juga memegang kendali atas sekitar 120 sandera Israel yang masih dalam tahanan Hamas, menjadikannya tokoh kunci dalam negosiasi potensial untuk pertukaran tahanan.
Sinwar terlibat langsung dalam perencanaan dan pelaksanaan serangan besar pada 7 Oktober yang menargetkan Israel. Serangan ini menandai salah satu eskalasi terbesar dalam konflik Israel-Palestina dalam beberapa tahun terakhir dan memicu tanggapan militer yang keras dari Israel. Sinwar sebagai tokoh yang lebih keras daripada pendahulunya. Sebab Ismail Haniyeh, yang lebih terkenal sebagai perantara dalam upaya mencapai gencatan senjata.
Respon Israel dan Komunitas Internasional
Penunjukan Sinwar menimbulkan reaksi keras dari Israel. Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, menyatakan bahwa pengangkatan Sinwar hanya memberikan Israel lebih banyak alasan untuk membunuhnya.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu juga menghadapi tekanan dari keluarga sandera Israel yang menuntut tindakan tegas untuk membebaskan anggota keluarga mereka. Netanyahu sendiri terjebak di antara tuntutan untuk menindak tegas Hamas dan upaya diplomatik untuk mencapai gencatan senjata.
Penunjukan Yahya Sinwar sebagai pemimpin baru Hamas menandai era baru dalam kepemimpinan kelompok tersebut. Dengan latar belakang yang kuat dalam militanisme dan perlawanan bersenjata, Sinwar kemungkinan akan mendorong Hamas untuk mengambil sikap yang lebih keras terhadap Israel. Ini akan menambah ketidakpastian dan ketegangan di wilayah yang sudah bergejolak.