Jakarta (Lampost.co) — Hasil penelitian oleh jurnal Cell Report Medicine menunjukkan kaitan frekuensi buang air besar (BAB) dengan kesehatan jangka panjang seseorang.
Menurut siaran Medical Daily pada Rabu, 17 Juli 2024, dalam penelitian itu para peneliti mengevaluasi sekitar 1.400 orang dewasa sehat dan mendapati mereka yang jarang BAB menunjukkan gejala penurunan fungsi ginjal.
Sebaliknya, individu yang frekuensi buang air besarnya lebih banyak dari rata-rata menunjukkan tanda-tanda gangguan fungsi hati. Frekuensi BAB normal berkisar dari tiga kali sehari sampai tiga kali sepekan.
Baca Juga:
Ini Tips Jaga Kesehatan Ketika Memasuki Masa Pancaroba
Para peneliti mengelompokkan peserta menjadi empat berdasarkan pola BAB mereka, yakni sembelit (satu sampai dua kali BAB per pekan), normal-rendah (tiga sampai enam kali BAB per pekan), tinggi-normal (satu sampai tiga kali BAB per hari), dan diare.
Mereka kemudian meneliti kaitan antara frekuensi BAB dengan beragam faktor, termasuk demografi, genetik, komposisi mikrobioma usus, metabolit darah, dan kimia plasma.
Usia
Berdasarkan siaran pers peneliti, hasil riset menunjukkan bahwa usia, jenis kelamin, dan indeks massa tubuh secara signifikan berhubungan dengan frekuensi BAB.
Orang dengan usia yang lebih muda, perempuan, dan mereka yang punya indeks massa tubuh rendah cenderung lebih jarang BAB.
Para peneliti menunjukkan bahwa frekuensi BAB yang optimal sekitar satu atau dua kali sehari. Orang dengan kisaran frekuensi BAB yang demikian cenderung memiliki bakteri usus yang dapat memfermentasi serat, yang umumnya terkait dengan kesehatan yang baik.
Peneliti juga mengamati bahwa orang dengan frekuensi BAB lebih sedikit memiliki lebih banyak racun yang berasal dari mikroba dalam darah karena proses fermentasi protein di usus.
Racun ini terkait dengan perkembangan penyakit dan angka kematian yang lebih tinggi pada penyakit ginjal kronis.
“Penelitian terdahulu telah menunjukkan bagaimana frekuensi buang air besar bisa berdampak besar pada fungsi ekosistem usus,” kata Johannes Johnson-Martinez, penulis utama hasil studi.
“Secara spesifik, jika tinja menempel terlalu lama di usus, mikroba akan menggunakan semua serat makanan yang tersedia, yang mereka fermentasi menjadi asam lemak rantai pendek yang bermanfaat. Setelah itu, ekosistem beralih ke fermentasi protein, yang menghasilkan beberapa racun yang dapat masuk ke aliran darah,” jelasnya.
Menurut penulis hasil studi yang lain, Dr. Sean Gibbons, secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bagaimana frekuensi BAB dapat mempengaruhi seluruh sistem tubuh. Dan bagaimana frekuensi BAB yang menyimpang dapat menjadi faktor risiko perkembangan penyakit kronis.
Hasil studi juga menunjukkan bahwa frekuensi BAB yang ideal bisa dengan mengonsumsi makanan kaya serat, memastikan hidrasi tubuh lebih baik, dan olahraga secara teratur.