Jakarta (lampost.co)-– Konsumsi rokok tidak hanya berdampak pada kesehatan perokok aktif, tetapi juga membawa risiko serius bagi tumbuh kembang anak. Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Aryana Satrya, mengungkapkan bahwa meningkatnya jumlah perokok di Indonesia berkorelasi dengan tingginya kasus stunting pada anak.
Aryana menjelaskan, keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas cenderung mengalokasikan pengeluarannya untuk membeli rokok dibandingkan makanan bergizi. “Ketika ayah atau orang tua merokok dan hidup pas-pasan, uang yang seharusnya untuk makanan bergizi justru habis untuk rokok. Anak pun menjadi korban dengan tumbuh kembang yang terhambat,” kata Aryana dalam workshop media bertajuk Advokasi Tobacco Tax dan Tobacco Control.
Ia juga menekankan bahwa paparan asap rokok sangat membahayakan bagi ibu hamil. Zat karsinogenik yang terhirup dari asap rokok dapat masuk ke dalam sirkulasi darah janin, mengganggu perkembangan otak, dan menyebabkan gangguan pertumbuhan yang berujung pada stunting.
“Melalui asap rokok, ibu hamil yang menjadi perokok pasif menyerap zat berbahaya yang langsung berdampak ke janin. Zat tersebut mengganggu pusat perkembangan otak bayi, sehingga pertumbuhannya terganggu,” papar Aryana.
.
Lebih jauh, hasil riset PKJS UI pada 2018 menemukan bahwa perilaku merokok orang tua berdampak langsung terhadap perkembangan intelektual anak. Anak dari keluarga perokok cenderung memiliki tinggi badan lebih pendek 0,34 cm dibanding anak dari keluarga non-perokok. Selain itu, inteligensia atau IQ anak juga lebih rendah.
“Dari data kami, anak-anak dari keluarga perokok lebih rentan mengalami stunting, terganggunya kesehatan, serta memiliki tingkat inteligensia yang lebih rendah,” ujar Aryana.
Cegah Merokok
Sementara itu, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau dan Penyakit Paru Direktorat Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Benget Saragih, menyoroti pentingnya peran orang tua dalam pencegahan perilaku merokok pada anak.
“Sebanyak 89 persen anak tidak merokok jika orang tuanya juga tidak merokok. Sisanya, 11 persen masih mungkin merokok karena pengaruh lingkungan atau teman sebaya. Jadi, ketika orang tua mengatakan rokok itu berbahaya namun tetap merokok, anak tidak akan percaya. Anak akan membandingkan ucapan dan tindakan orang tuanya,” jelas Benget.
Sebagai langkah konkret, Kementerian Kesehatan terus mendorong kebijakan dan edukasi untuk melindungi anak-anak dari bahaya rokok. Upaya ini menjadi bagian penting dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045, di mana generasi muda diharapkan tumbuh sehat, cerdas, dan produktif.