Bandar Lampung (lampost.co)–Gangguan seksual menyimpang adalah kondisi psikologis ketika seseorang mengalami rangsangan seksual terhadap objek, situasi, atau individu yang tidak lazim dan menyimpang dari norma sosial. Kasus dokter residen Unpad yang memperkosa anak pasien di RSHS Bandung menjadi contoh nyata bagaimana gangguan ini bisa berujung pada tindakan kriminal serius.
Dalam dunia kesehatan mental, gangguan seksual menyimpang masuk dalam kategori paraphilic disorders. Gangguan ini bukan hanya berdampak pada pelaku, tetapi juga bisa sangat membahayakan korban, seperti yang terjadi dalam kasus pemerkosaan di RSHS Bandung oleh pelaku yang mengaku memiliki fetish terhadap perempuan tak sadar.
Jenis-Jenis Gangguan Seksual
Ada berbagai bentuk gangguan seksual menyimpang yang telah teridentifikasi dalam ilmu psikologi. Beberapa yang paling umum antara lain:
-
Voyeurisme
Ketertarikan seksual dengan mengintip orang lain yang sedang telanjang atau berhubungan intim tanpa sepengetahuan mereka. -
Eksibisionisme
Dorongan untuk memperlihatkan alat kelamin di tempat umum atau kepada orang asing tanpa persetujuan. -
Fetishisme
Ketergantungan seksual pada objek atau bagian tubuh tertentu yang tidak biasa, seperti kaki, pakaian dalam, atau kondisi tubuh tak sadar. -
Pedofilia
Ketertarikan seksual pada anak-anak di bawah umur. -
Masokisme dan Sadisme Seksual
Dorongan seksual yang timbul dari memberi atau menerima rasa sakit secara ekstrem dalam aktivitas seksual.
Dalam kasus dokter residen Unpad, ia mengaku memiliki fetish terhadap perempuan yang tak sadar atau pingsan. Ini termasuk dalam gangguan seksual menyimpang sebagai somnophilia, sebuah bentuk fetish yang sangat berbahaya karena melibatkan korban yang tidak mampu memberikan persetujuan.
Cara Mengenali dan Mengidentifikasi Gangguan Seksual Menyimpang
Mengenali tanda-tanda gangguan seksual menyimpang sangat penting, terutama bagi tenaga medis, psikolog, maupun keluarga. Beberapa ciri yaitu :
-
Dorongan seksual yang terus-menerus terhadap objek/situasi yang tidak lazim
-
Kesulitan mengendalikan fantasi seksual menyimpang
-
Tindakan seksual yang melibatkan kekerasan, pemaksaan, atau tanpa persetujuan korban
-
Rasa bersalah setelah melakukan tindakan tersebut, namun tetap mengulanginya
Dalam kasus pemerkosaan oleh dokter residen Unpad, pengakuan pelaku kepada penyidik bahwa dirinya memiliki ketertarikan seksual pada perempuan tak sadar adalah indikasi kuat adanya gangguan seksual menyimpang. Penyidik bahkan berencana memperdalam kasus ini dengan pemeriksaan psikologi forensik.
Bahaya Gangguan Seksual Menyimpang Jika Tidak Ditangani
Jika dibiarkan tanpa pengobatan atau intervensi, gangguan seksual menyimpang dapat berkembang menjadi tindakan kriminal seperti pelecehan, pemerkosaan, bahkan kekerasan seksual berat. Inilah yang terjadi pada kasus dokter residen Unpad yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Barat.
Pelaku menyuntik korban hingga tidak sadar sebelum melakukan aksi bejatnya di RS Hasan Sadikin Bandung. Ini bukan hanya pelanggaran etika kedokteran, tetapi juga pelanggaran hukum dan moral yang berat.
Penanganan dan Terapi Gangguan Seksual Menyimpang
Penanganan terhadap gangguan seksual menyimpang biasanya melibatkan beberapa pendekatan medis dan psikologis:
-
Terapi Psikoseksual
Terapi ini membantu pasien mengidentifikasi penyebab dorongan seksual menyimpang dan menggantinya dengan respons seksual yang lebih sehat. -
Terapi Kognitif-Perilaku (CBT)
Membantu mengubah pola pikir dan perilaku menyimpang menjadi lebih rasional. -
Obat-obatan Pengontrol Libido
Seperti antiandrogen, yang dapat menurunkan dorongan seksual sementara terapi berjalan. -
Psikologi Forensik
Dalam kasus kriminal seperti dokter residen Unpad, evaluasi forensik dibutuhkan untuk memastikan kondisi mental pelaku dan potensi ancaman di masa depan.
Kasus pemerkosaan oleh dokter residen Unpad yang terjadi di RSHS Bandung menjadi pengingat bahwa gangguan seksual menyimpang bukan hal sepele. Gangguan ini bisa mengubah seorang profesional menjadi pelaku kekerasan seksual jika tidak ditangani sejak dini.
Masyarakat perlu lebih peduli terhadap isu kesehatan mental seksual. Deteksi dini, edukasi, dan intervensi psikologis dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mencegah tragedi serupa terulang kembali.