JIKA anda adalah orang atau orang tua yang alergi dengan game online atau malah sebal melihat anak-anda terlampau garib bermain game online, mungkin akan berpikir ulang jika membaca tulisan ini. Tahukan anda bahwa aktivitas yang anda benci menjangkiti anak-anak saat ini itu justru memiliki peranan signifikan dalam mendorong perekonomian nasional.
Lah kok bisa? Menteri Parekraf Sandiaga Uni beberapa waktu lalu pernah mengemukakan kontribusi ekosistem game online bagi produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai Rp25 triliun. Dengan nilai sedemikian besar ini, ekosistem game di Tanah Air mampu menempati posisi ketujuh penyumbang PDB terbesar dari sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Vero, agen komunikasi di Asia Tenggara, mengungkapkan jumlah penduduk Indonesia yang terlibat dalam olahraga elektronik (e-sport) pada 2021 mencapai 52 juta. Dengan jumlah pengguna sebegitu besar tak heran jika nilai transaksi e-sport di Tanah Air mencapai 1,92 miliar dolar AS (2021). Diprediksi nilai ini akan terus melejit hingga 37% lebih tinggi dari negara Asia Tenggara lainnya.
Dengan kata lain, era digital telah mengubah permainan atau games lebih dari sekadar permainan. Platform digital yang terus menerus berkembang pesat menjadikan game sebagai sumber cuan, sumber kehidupan, sumber pekerjaan bagi banyak orang. Keberadaan e-sport nyatanya mampu menghasilkan star-up baru, UMKM baru, menyerap tenaga kerja baru di Indonesia.
Fenomena booming-nya game online atau e-sport kini telah menciptakan jenis profesi pekerjaan baru, yakni gamers e-sport profesional dan tim e-sport profesional. Profesi mereka ini cukup menggiurkan. Lihat saja cuan yang berhasil direngkuh juara game Dota 2 pada turnamen internasional beberapa waktu lalu, nilainya amat sangat fantastis hingga Rp225 miliar untuk satu kompetisi saja.
Nilai sangat fantastis itu baru untuk juaranya saja, belum menghitung biaya penyelenggaraan, nilai sponsor yang terlibat di dalamnya dan sebagainya. Angkanya tentu akan berlipat-lipat dari fee untuk pemenang satu kompetisi itu. Namun demikian, uraian di atas hingga di titik ini telah amat jelas dan terang benderang bahwa game online atau e-sport bukan perkara remeh temeh.
Persoalannya justru kebanyakan orang saat ini berpikir sebaliknya. Atau bahkan mereka penggandrung game online, juga menganggap hiburan mereka juga perkara remeh yang tidak perlu diseriuskan. Ujung-ujungnya dampak negatiflah yang tampak. Mereka menjadi pecandu game online yang telah banyak menguras waktu yang terbuang percuma bahkan menjadi sia-sia karena tidak jelas ujungnya.
*
American Psychiatric Association (APA) mendefinisikan internet gaming disorder (IGD) dengan keterlibatan terus-menerus dan berulang dengan video game, sering menyebabkan gangguan yang signifikan dari kegiatan sehari-hari, pekerjaan dan/atau pendidikan. Itu mengapa orang tua dan praktisi pendidikan kerap khawatir dampak negatif dari kecanduan bermain game bagi anak-anak.
Kelewat asyik dan lupa batas waktu saat main adalah gejala umum dari IGD. Timbul perilaku negatif saat mendapat halangan untuk bermain dan gagal, jika diminta untuk mengontrol keinginan main adalah gejala selanjutnya, akibat ide untuk terus-menerus main game. Terakhir, ide dan aktivitas game membuat pola hubungan sosial anak memburuk, kinerja sekolah atau pekerjaan juga merosot.
Terlepas ihwal kecanduan game online ini masih kabur dan penuh perdebatan saya tetap berprinsip segala sesuatu yang kelewat batas itu, pasti tidak baik bahkan ujung-ujungnya berdampak buruk termasuk game online. Dengan demikian, yang buruk itu sesungguhnya bukan gamenya, melainkan mereka yang menyalahgunakan dan atau menjadikan game sebagai pelarian hidup.
Dan kalau mau jujur dan fair yang berpotensi mengidap dampak buruk dari game online bukan saja anak-anak. Namanya jika sudah kecanduan, siapa pun dapat terjangkit, termasuk orang dewasa, pun halnya mereka berada dalam usia produktif. Sekali lagi, segala sesuatu yang berlebih-lebihan itu tidak baik. Agama pun mengajarkan demikian. Ajaran ini berlaku bagi anak-anak dan orang dewasa.
Persoalan pelik dari keberadaan game online di Tanah Air sesungguhnya bukan perkara candu atau bukan candu. Persoalan lebih urgen saat ini adalah meskipun nilai ekonomi dari ekosistem game online atau e-sport demikian besar terutama dari nilai transaksi dan penggunanya, namun tenaga kerja yang terlibat dari institusi pengembangan game online di Indonesia masing sangat minim.
Menilik dari sudut pandang produksi dan pengembangan game online, Kemenparekraf menyatakan menyebut bahwa Indonesia hanya memiliki sekitar 1.000 pekerja yang terlibat dalam industri game. Pun halnya dari produktivitas, developer game lokal belum bisa berbicara banyak di Playstore di mana jumlah aplikasi game online lokal yang ter-upload di Playstore masih di bawah satu persen.
Ini merupakan persoalan klasik. Bangsa ini lebih dominan menjadi pengguna atau user sekaligus juga konsumer sedangkan dari sisi produser, kreator, inovator masih jauh dari kondisi ideal. Maka ketimbang terlalu bising memperdebatkan soal bahaya kecanduan game online, maka alangkah baiknya memikirkan lebih serius bagaimana bisa kreatif di sektor ini.
*
Hal yang lebih penting lagi yang perlu dikemukakan dalam tulisan ini adalah era digital amat nyata mengubah peri kehidupan manusia zaman sekarang. Bahkan, aktivitas bermain saja sebagaimana telah panjang lebar saya ungkapkan telah bergeser dari sesuatu yang sifat dasarnya, adalah mengisi waktu luang lantas menjelma menjadi industri yang melibatkan cuan demikian besar.
Lantas bagaimana dengan segala hal ihwal yang sifat dasarnya merupakan sesuatu yang serius dan berkenaan langsung dengan aktivitas ekonomi semisal industri perdagangan barang produk atau pun jasa pada umumnya? Tentu saja adanya revolusi digital barang tentu akan melipatgandakan nilai ekonominya. Persoalannya secara umum sudah siapkan berlayar dan mengarungi era digital.
Namanya berlayar itu tentu saja butuh perahu, awak kapal, dan layar yang terkembang. Pun hanya dengan era digital yang juga menuntut kesiapan infrastruktur memadai, sumber data manusia yang mumpuni, sarana-prasarana pendukung yang juga mutlak harus dimiliki. Itu artinya menyongsong era digital itu harus berlangsung dari hulu hingga ke hilir, dari atas turun tuntas hingga ke bawah.
Di Lampung misalnya apakah sudah seluruh wilayah terkoneksi dengan jaringan internet? Ataukah masih ada titik-titik blankspot? Hingga saat ini sudah berapa banyak penggiat ekonomi baik skala makro hingga mikro yang telah mentransformasi entitas bisnis dan usahanya ke platform digital? Tidak kalah penting sudah sejauh mana pemahaman masyarakat dengan transaksi digital.
Pelik memang dan masih banyak pula yang harus dilakukan namun mau tidak mau, suka tidak suka harus dihadapi karena inilah zamannya. Zaman era digital. Tidak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri merupakan adagium yang tidak akan lekang ditelan zaman pun hanya dalam menyongsong era digital. Semua harus berubah jika tidak ingin tergilas roda zaman.
Menolak perubahan itu mahal harganya. Tengoklah perusahaan besar seperti Nokia dan Blackbarry saja pada akhirnya tumbang dari takhta pemegang pasar telepon pintar dunia lantaran tidak cepat membaca perubahan zaman. Mereka tidak hanya tersungkur dari takhta, tapi benar-benar jatuh dan terlempar. Ini sudah jadi konsekuensi logis dan hukum alam me
Sri Agustina