ADA istilah zaman sekarang, sebutan bagi anak-anak ataupun orang yang lamban berpikir alias lola (loading lama), tidak cekatan, diajak ngomong enggak nyambung, atau absurd pasti dibilang generasi micin. Bagaimana asal-muasal sebutan yang lebih pada olok-olok itu tidak bisa dipastikan.
Sebutan generasi micin ini biasanya dialamatkan pada remaja tanggung maupun usia anak sekolah yang menuntut perhatian lebih, sehingga mereka berlagak dewasa dan melakukan hal yang di luar batas ajar kemampuan mereka. Generasi inilah yang dianggap sering meresahkan masyarakat akibat sikap dan kelakuan mereka.
Ibaratnya, perilaku mereka diberi bumbu biar lebih menarik perhatian. Mungkin karena micin yang merupakan sebutan lain untuk vetsin (monosodium glutamate/MSG), si bumbu instan penyedap makanan yang biasa digunakan sebagian besar masakan untuk memberikan citarasa gurih.
Namun, si micin disebut-sebut memiliki dampak berbahaya bagi kesehatan tubuh. Mulai dari mual, pusing, hingga membuat orang lamban berpikir, sehingga mereka disebut generasi micin sebagai dampak konsumsi micin berlebihan.
Kalau dipikir-pikir, terbentuknya generasi micin akibat kesalahan para orang tua juga. Mahalnya harga bumbu-bumbu masakan alami seperti sekarang, saat harga 1 kilogram bawang putih sudah mengalahkan harga seekor ayam, mau tidak mau orang menggunakan micin untuk membuat enak masakannya.
Lebih praktis dan murah, sebungkus bumbu untuk rasa sup ayam hanya Rp2.000. Sementara kalau membuat bumbu sup sendiri butuh bawang putih, bawang merah, belum lagi butiran lada, membutuhkan lebih dari Rp2.000.
Sebagai emak-emak yang mesti turun ke dapur, mau tidak mau harus putar otak menyiasati harga bahan-bahan makanan yang melonjak dengan mulut-mulut anggota keluarganya yang harus diberi makan. Belum lagi, upah suami yang mungkin hanya sedikit di atas upah minimum.
Micin tentu jadi penyelamat supaya dapur tetap ngebul, masakan tetap enak. Jadi, apakah micin benar-benar memberi dampak buruk bagi kesehatan (sebab ada pro-kontra soal ini di kalangan peneliti), setidaknya sebagian besar orang menambahkan vetsin ke masakannya. Micin pun menjadi simbol kepraktisan dan rasa gurih.
Tapi, kalau mau dipikir-pikir lagi, tingginya konsumsi micin oleh masyarakat menengah ke bawah yang masih perhitungan untuk mengolah makanan dengan bahan alami karena biayanya lebih tinggi dari menggunakan micin mestinya jadi perhatian pemerintah.
Kalau saja pemerintah bisa mengendalikan harga-harga bahan makanan di pasaran, tidak membiarkan adanya permainan harga, atau menekan harga untuk mencegah tingginya inflasi karena bawang putih.
Jangan justru pemerintah mengimbau menggunakan bahan-bahan makanan yang sudah berpengawet. Ingat saja dulu tahun 2011, waktu harga cabai mencapai seratusan ribu per kilo, masyarakat justru dianjurkan mengonsumsi sambal botol dan bubuk cabai. Kalau pemerintah saja mengambil sikap instan seperti itu, apakah pemerintahan kita “pemerintahan micin”?
Nova Lidarni Wartawan Lampung Post