BERITA pengeroyokan terhadap siswi SMP bernama Audrey oleh 12 siswa SMA di Pontianak menjadi trending topic di media sosial. Aksi brutal para remaja putri itu viral dan menyedot perhatian berbagai pihak.
Kejadian tersebut memang amat disayangkan. Bukan hanya kekerasan fisik yang diterima korban, melainkan juga perundungan hingga ancaman. Kekerasan yang dialami Audrey mengalirkan simpati dari warganet hingga dikeluarkanlah petisi daring yang ditujukan untuk Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPAD). Petisi tersebut ditargetkan untuk mendapatkan 500 ribu tanda tangan.
Banyak yang mendorong agar penyelesaian kasus tidak berakhir damai begitu saja. Harus ada efek jera bagi pelaku, demikian cuitan kebanyakan warga net.
Aksi sadistis yang dipraktikkan para pelaku memang di luar dugaan. Korban dianiaya secara fisik, psikis, hingga seksual. Sudah barang pasti, para pelaku dekat bahkan akrab dengan kekerasan.
Data Ikhtisar Eksekutif Startegi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016—2020 oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) pada 2018, sebanyak 40% siswa usia 13—15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebaya.
Sementara UNICEF pada 2014 menyatakan 8 dari 10 anak mengalami perundungan. Nahas, kasus perundungan di Indonesia menempati urutan keempat dalam kasus kekerasan anak. Urutan pertama ditempati kasus anak berhadapan dengan hukum, kedua terkait keluarga atau pengasuhan alternatif, ketiga cyber pornografi, dan keempat perundungan.
Sejatinya, anak terlahir bak kertas polos. Satu per satu huruf, kalimat, hingga cerita tertulis dalam kertas tersebut seiring tumbuh kembangnya. Orang tua dan keluarga terdekat adalah para penulis cerita tersebut, kemudian masyarakat dan lingkungan pendidikan.
Orang tua adalah guru pertama dan utama anak, yang berperan penting dalam membentuk karakter dan pola pikir. Tidaklah secara tiba-tiba seorang anak menjelma sebagai pelaku kekerasan sadistis. Ada proses panjang yang menjadi pemicunya. Banyak faktor yang bisa membentuk tabiat brutal pada anak. Bisa jadi, anak tersebut sering melihat bahkan mengalami kekerasan dalam keluarga. Atau, anak tersebut pencandu game yang didominasi dengan kekerasan.
Dengan input semacam itu, anak pasti akan menjelma sebagai pelaku kekerasan yang berperilaku agresif dan kehilangan rasa empati. Lalu di mana peran satuan pendidikan? Layaknya orang tua, sekolah juga mesti jeli melihat kecenderungan para siswanya. Pendidikan budi pekerti serta konseling merupakan terapi yang tepat bagi siswa yang memiliki kecenderungan berperilaku kekerasan.
Karena sejatinya, pendidikan bersifat komprehensif. Siswa bukan sekadar diajari tentang definisi dari kata manusia, tetapi yang terpenting mendidik siswa memanusiakan sesama berdasarkan kemanusiaan.
Delima Natalia Napitupulu Wartawan Lampung Post