SEJARAH berdirinya Tepublik ini tak bisa lepas dari peran pers. Itu mengapa kerap mendengar istilah pers perjuangan. Sebab, pada zaman pra kemerdekaan, pers menjadi bagian penting terutama dalam menumbuhsuburkan gagasan nasionalisme di Tanah Air pada mula abad ke-20.
Van Niel dalam bukunya Munculnya Elit Modern Indonesia (1984) menyampaikan pers menjadi salah satu media utama yang digunakan golongan elite modern Indonesia pada awal abad ke-20 dalam menyampaikan perlawanan, kritik terhadap kebijakan Belanda serta mobilisasi massa.
Di kawasan Sumatera misalnya, sejarah mencatat sepak terjang surat kabar Oetoesan Melajoe (1913) dan Soeara Perempuan (1918) sebagai “senjata” untuk melawan kaum penjajah di Indonesia bagian barat. Mereka menjadi corong para boemipoetra menggaungkan semboyan kemerdekaan.
Penulis buku Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Nasional (1993), John Ingleson dalam karyanya mengemukakan “pena tajam” kaum priayi boemipoetra mendapat tindakan represif dari Belanda sekitar dasawarsa kedua abad ke-20. Tidak sedikit tokoh pergerakan ditangkap dan diasingkan.
Kala itu, banyak terjadi upaya pembungkaman surat kabar dan penahanan para tokoh pergerakan nasional seperti Ki Hadjar Dewantara, Ciptomangunkusumo, Abdul Moeis, Semaoen, Tirto Adhi Soerjo dll. Itu semua tak lepas dari kritik yang mereka sampaikan lewat tulisan-tulisan mereka.
Ki Hadjar Dewantara ditangkap pada 1913 karena tulisan menohoknya dalam surat kabar De Express berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Saya Seorang Belanda). Maka jelasnya, pers nasional memiliki tautan sejarah demikian lekat dengan perjuangan dan kemerdekaan bangsa ini.
Menukil sekelumit sejarah pers nasional bukanlah romantisme belaka. Perjuangan para pendahulu insan jurnalis Tanah Air pada awal-awal berdirinya Tepublik ini tentu harus diteruskan. Di era pasca-kemerdekaan saat ini pers nasional tetap memiliki peran penting sebagai pilar keempat demokrasi.
*
Pepatah lama mengatakan tidak ada gading yang tak retak. Begitu pula dalam dunia profesi, pun halnya pers, bukan pula profesi yang sempurna. Selalu ada moral hazard, praktik penyimpangan, penyalahgunaan profesi juga terjadi. Kita pun mengenal “jurnalisme abal-abal” di era kekinian.
Pada Konvensi Media Massa dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) di Batam, Kepulauan Riau, 2015 lalu, Ketua Dewan Pers Bagir Manan dalam sambutannya menyinggung soal pers abal-abal ini. “Mereka yang merasa dirugikan pers abal-abal dianjurkan menempuh jalur di luar Dewan Pers,” katanya.
Dia mengatakan ada dua jenis wartawan abal-abal. Pertama yang mengaku wartawan tanpa bekerja di media apa pun, dan kedua wartawan yang bekerja di media tertentu tetapi melanggar asas dan tata kerja jurnalistik. Keberadaan jurnalis abal-abal ini tentu tak boleh terus dibiarkan terjadi.
Itu mengapa dalam perkembangan jurnalisme di Tanah Air kita mengenal uji kompetensi wartawan (UKW). Upaya dari Dewan Pers ini bertujuan menyertifikasi para insan pers karena ia bukanlah pekerja biasa, melainkan kaum profesional seperti doktor, akuntan atau pengacara.
Jujur saja masih ada segelintir dari publik masih kabur membedakan pekerjaan dan profesi. Tukang becak misalnya adalah sebuah pekerjaan, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai profesi. Pekerjaan ini tidak memerlukan skill khusus dan tidak pula menuntut pelakunya taat pada kode etik profesi.
Beda halnya dengan profesi dokter, pengacara atau guru. Mereka merupakan pekerja profesional. Untuk menggeluti profesi ini memerlukan pendidikan atau kecakapan khusus yang harus dikuasai. Dalam bekerja mereka pun harus menjunjung tinggi kode etik profesi masing-masing.
Pun halnya dengan wartawan atau jurnalis. Tidak serta-merta semua orang dapat menggeluti profesi ini begitu saja. Perlu skill atau kecakapan khusus yang harus dikuasai. Dalam menjalankan profesinya ini para jurnalis pun harus menjadikan kode etik jurnalistik sebagai kompas dalam bekerja.
Uji kompetensi wartawan atau jurnalis harus dipahami sebagai tools untuk mengetahui apakah seseorang sudah layak menyandang status wartawan profesional. Apakah si jurnalis benar-benar menguasai berbagai kecakapan atau skill yang dibutuhkan dalam menjalankan tugas-tugas profesinya.
Lebih penting lagi apakah si jurnalis mengetahui, memahami, dan siap mematuhi kode etik profesinya. Dalam lingkup profesi mana pun kode etik punya peran ganda yakni melindungi si wartawan juga publik dari berbagai perilaku yang dapat merugikan diri sendiri juga orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, wartawan abal-abal yang disebut mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan bukanlah makhluk mitologi. Mereka amat nyata hadir di tengah masyarakat. Anda, saya, atau bahkan orang-orang terdekat kita, bahkan amat mungkin pernah bersinggungan dengan mereka.
*
Kembali kepada konteks peran insan pers nasional, keberadaan wartawan profesional amat dibutuhkan masyarakat di tengah kehidupan yang dinamis seperti halnya saat ini. Memerangi hoaks atau berita bohong yang kian menjamur di era digital adalah salah satu tugas strategis pers nasional.
Untuk membedakan berita benar atau hoaks bukanlah pekerjaan mudah. Perlu ketelitian, ketekunan seorang jurnalis memeriksa, memilah, dan memverifikasi berbagai informasi sebagai fakta yang suci. Itu mengapa tuntutan wartawan yang profesional demikian penting di era banjir hoaks saat ini.
Maka amat janggal rasanya setelah 20 tahun berlalu, dari lahirnya Piagam Palembang pada 2010 lalu, sebagai cikal bakal lahirnya UKW, sertifikasi wartawan, dan verifikasi media pers, muncul suara suara sumbang dari berbagai instrumen Dewan Pers dalam menjaga dan meningkatkan mutu pers.
Insan pers Tanah Air semestinya berbangga bahwa pekerjaannya merupakan sebuah profesi. Para guru di Indonesia saja memerlukan penantian amat panjang, hingga lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen pada 2005 lalu, sehingga para pengajar di Republik ini sah sebagai pekerja profesional.
Kita para jurnalis harus berbangga bahwa profesi ini memiliki peran penting dalam melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perjuangan para pendahulu dalam melahirkan negara ini harus diteruskan salah satunya adalah dengan menjaga muruah dengan menjadi pers profesional dan martabat. *
Sri Agustina