Jakarta (Lampost.co): Indonesia Narcotic Watch (INW) mengkritik disparitas vonis pengadilan terhadap para terpidana kasus narkoba (narkotika, psikotropika, dan obat terlarang lainnya) dari jaringan Fredy Pratama. INW menilai perbedaan vonis yang tidak proporsional ini mencerminkan adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum. Selain itu, menunjukkan inkonsistensi dalam upaya pemberantasan narkoba oleh pemerintah.
Direktur Eksekutif INW Budi Tanjung mengungkapkan, beberapa terdakwa dalam kasus sindikat narkoba Fredy Pratama menerima vonis yang sangat rendah. Sementara itu, yang lainnya mendapat hukuman sangat berat. Ia mengakui vonis setiap kasus berbeda. Semua tergantung fakta dan bukti, konstruksi hukum, serta dakwaan dalam kasus tersebut.
“Tetapi disparitas perbedaan penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa tanpa alasan atau pembenaran yang jelas, tentu menimbulkan pertanyaan,” kata Budi melalui keterangan tertulis, Kamis, 13 Juni 2024.
Mantan Kepala Satuan Narkoba Polres Lampung Selatan Andres Gustami misalnya, mendapat vonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang, Lampung. Sementara Wempi Wijaya, salah satu bandar sabu dalam jaringan Fredy Pratama mendapat ivonis 12 tahun oleh PN Makassar, Sulawesi Selatan, akhir Mei lalu.
Begitu juga Belly Saputra, salah satu kurir dalam jaringan Fredy, menerima vonis penjara seumur hidup oleh PN Tanjungkarang pada Mei lalu. Sedangkan Lian Silas, ayah Fredy Pratama, hanya mendapat vonis 1,8 tahun penjara oleh PN Banjarmasin, Kalimantan Selatan, April lalu.
Kasus terbaru adalah Adelia Putri Salma, selebgram cantik asal Palembang, Sumatra Selatan. Dia menerima vonis bersalah menampung uang hasil penjualan narkoba milik suaminya yang terafiliasi dengan jaringan Fredy Pratama. Ia mendapat tuntutan 7 tahun penjara, tetapi hanya mendapat vonis 5 tahun.
Ada juga terpidana Wahyu Wijayasebagai orang kepercayaan Fredy. Ia berperan sebagai pengurus pembukuan keuangan Fredy Pratama. Selain itu, bertugas sebagai sopir pribadi dari bandar kelas kakap tersebut. Ia mendapat tuntutan 1 tahun penjara tetapi hanya menerima vonis 10 bulan oleh PN Tanjungkarang pada 3 Juni lalu.
Buru Fredy
Adapun Mabes Polri bersama Kepolisian Thailand saat ini masih memburu Fredy yang bersembunyi di Negara Gajah Putih tersebut. Fredy Pratama adalah gembong sindikat narkoba terbesar di Indonesia dan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Penangkapan Fredy merupakan kerjasama Polri dengan Kepolisian Malaysia, Kepolisian Thailand, dan Badan Narkotika AS (DEA).
INW menilai, inkonsistensi putusan pengadilan dalam kasus sindikat narkoba Fredy Pratama mencerminkan adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum. Kemudian, menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum. “Kami melihat adanya kesenjangan yang besar dalam penjatuhan hukuman, yang berarti sebagai bentuk ketidakseriusan dalam penanganan kasus pidana narkoba,” ujar Budi.
Kebijakan pemerintah Indonesia yang berusaha tegas dalam memberantas narkoba seharusnya tercermin dalam putusan pengadilan. Namun, dengan adanya vonis yang bervariasi, terdapat kesan bahwa kebijakan tersebut tidak konsisten. “Hal ini bertentangan dengan semangat dan komitmen pemerintah dalam memerangi narkotika,” kata Budi.
Di sisi lain, upaya memberi efek jera harus menghadirkan transparansi dan konsistensi dalam proses peradilan kasus narkoba. “Penegakan hukum harus adil dan merata, tanpa pandang bulu. Hal itu untuk memastikan semua pelaku kejahatan narkotika mendapatkan hukuman setimpal perbuatannya,” tegas Budi.
INW juga menyerukan adanya evaluasi terhadap sistem peradilan dan peraturan perundang-undangan terkait. Hal itu untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kelemahan yang menyebabkan disparitas vonis ini. Evaluasi ini penting untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia. “Kami siap membantu pemerintah dan pengadilan untuk melakukan evaluasi ini,” kata Budi.
INW tetap mendukung penuh sepenuhnya upaya pemerintah dalam pemberantasan narkotika dan mendorong kolaborasi antara penegak hukum, lembaga peradilan, dan masyarakat dalam memerangi peredaran narkotika.