Pesawaran (Lampost.co) — Adanya kasus anak SMP di Pesawaran yang terlibat pembunuhan dengan dugaan latar belakang penyimpangan seksual menjadi sorotan.
Merespon hal tersebut, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk., dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Pesawaran, meminta Polres setempat mendalami kasus tersebut. Hal ini guna mendapatkan informasi para anak-anak yang terlibat dalam penyimpangan seksual tersebut.
Kepala DP3AKB Kabupaten Pesawaran, Maisuri mengatakan, berdasarkan informasi yang terhimpun oleh pihaknya. Kasus tersebut bermula karena adanya kecemburuan antara pelaku yang terbayar lebih murah daripada temannya.
“Berartikan, sudah ada beberapa anak lain yang menjalani praktik penyimpangan seksual ini. Makanya kami minta Polres untuk mencari anak-anak tersebut. Sehingga kita bisa melakukan pendampingan psikologis. Ini guna mengantisipasi mereka menjadi pelaku penyimpangan seksual kemudian harinya,” ujarnya. Rabu 3 September 2025.
Kemudian ia mengatakan, anak yang menjadi korban praktik LGBT berpotensi besar berubah menjadi pelaku kekerasan bila tidak segera tertangani.
“Berdasarkan pengalaman kami, anak korban LGBT sangat rentan meniru perlakuan yang pernah teralaminya. Jika tidak mendapatkan pendampingan psikologis, mereka bisa menjadi pelaku pada kemudian hari,” ujarnya.
Selanjutnya, DP3AKB Pesawaran melalui UPTD PPA mendampingi anak-anak yang terjerumus kasus serupa. Baik secara hukum maupun psikologis. “Pendampingan psikologis menjadi prioritas. Karena menyembuhkan luka batin anak adalah kunci mencegah mereka mengulangi atau menyalurkan trauma pada orang lain,” katanya.
Lalu ia juga mengatakan, dengan adanya kasus ini pihaknya lebih menggencarkan sosialisasi kepada para anak murid sekolah yang ada di Pesawaran. Serta masyarakat khususnya kepada orang tua.
“Kalau sosialisasi kami rutin melakukan, mulai dari pelecehan seksual, penyimpangan seksual yang bisa terjadi kepada anak-anak. Namun itu saja tidak cukup, karena perlu pengawasan ketat dari orang tua juga,” katanya.
“Yang sulit ini, banyak anak yang menjadi korban karena kurangnya pengawasan dari orang tua. Karena orang tuanya bekerja keluar daerah maupun luar negeri. Anak-anak broken home juga banyak menjadi korban,” ujarnya.