Bandar Lampung (Lampost.co) — Polda Lampung melakukan penyelidikan terhadap dugaan mafia tanah pada 8 desa di Lampung Timur. Penyelidikan itu buntut aduan dari ratusan petani penggarap yang menyampaikan aduan.
Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Pol. Umi Fadilah Astutik mengungkapkan. Pihaknya telah melakukan audiensi dengan ratusan petani yang datang. Mereka meminta Polda Lampung mengusut dugaan adanya mafia tanah yang merampas lahan yang telah mereka garap.
Kemudian sebagai langkah awal, pihaknya langsung melakukan koordinasi dengan Kanwil ATR/BPN Lampung Timur. Koordinasi untuk mengumpulkan data terkait dugaan penyerobotan lahan oleh mafia tanah yang tersampaikan masyarakat.
Baca Juga :
https://lampost.co/kriminal/petani-lampung-timur-minta-polda-usut-dugaan-mafia-tanah/
“Untuk Lampung Timur. Saat ini petugas dari Ditreskrimum dan Polres Lampung Timur langsung kesana (Kantor BPN Lampung Timur) sore ini,” katanya, Kamis, 27 Oktober 2024.
Sebelumnya, ratusan petani penggarap dari Lampung Timur melakukan aksi demonstrasi pada Mapolda Lampung, Kamis, 17 Oktober 2024. Aksi tersebut terkait dugaan adanya mafia tanah yang melakukan sertifikasi terhadap tanah garapannya.
Aduan
Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi mengungkapkan. Para petani Desa Sripendowo sudah menyampaikan aduan dugaan tersebut sejak 29 Mei 2024. Namun tidak ada tindakan dari Polda Lampung untuk melakukan pengungkapan terhadap aduan tersebut.
“Hingga saat petani datangi Polda Lampung hari ini. Proses pengungkapan aduan tersebut belum dan tidak dilakukan,” katanya.
Sementara itu salah satu petani, Suparjo mengatakan. Para petani desanya telah menggarap lahan sejak tahun 1960-an secara turun temurun. Selama waktu tersebut para petani tidak pernah mengajukan sertifikasi lahan.
Namun, tiba-tiba, pada 2021 lalu terbit sertifikat atas lahan tersebut dari BPN. Menurutnya, seratusan sertifikasi yang terbit atas orang yang bukan warga desa setempat.
“Total ada 401 hektar tanah pada 8 desa. Termasuk tempat saya, Desa Sripendowo,” katanya.
Kemudian para pemilik sertifikat tanah tersebut sempat melakukan pertemuan dengan para petani penggarap. Dalam pertemuan itu, para petani diminta membeli lahan tersebut dengan nilai Rp.250 juta/hektar.
“Kami gak mau. Karena lahan itu sudah tergarap oleh petani setempat puluhan tahun,” katanya.
Kemudian, para petani bersama LBH Bandar Lampung menyampaikan aduan dugaan mafia tanah pada Mei 2024 lalu. Namun hingga 5 bulan bergulir, belum ada tindak lanjut dari kepolisian untuk menyelidiki dugaan tersebut.