Bandar Lampung (Lampost.co) – Muncul wacana adanya perpanjangan masa jabatan untuk kepala daerah (eksekutif) dan anggota DPRD (legislatif). Dorongan ini muncul pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pemisahan Pemilihan Umum.
Hal tersebut tersampaikan dalam seminar nasional tentang “Konstitusionalitas Pemisahan Pemilu : Tantangan Legislasi dan Implementasi di Indonesia”. Agenda itu tergelar pada Auditorium Fakultas Hukum Universitas Lampung, Selasa, 14 Oktober 2025.
Seminar membahas implikasi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor. 135/PUU – XXII/2024 tentang pemisahan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak Nasional dan Pemilu Serentak Lokal. Sehingga Revisi Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada sedang terbahas, dan akan tergabung dalam satu rezim undang-undang.
Baca Juga:
Kemudian implikasi dari putusan tersebut ialah adanya perdebatan jeda waktu 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan penyelenggaraan pemilu daerah setelah pemilu nasional. Hal itu berpotensi memperpanjang masa jabatan anggota DPRD periode 2024-2029 sampai tahun 2031 atau 2032. Padahal konstitusi memandatkan pemilu terlaksanakan setiap 5 tahun sekali, termasuk untuk memilih anggota DPRD.
Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Lampung, Budiono mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat. “Sehingga, mau tak mau bisa ada kekosongan masa jabatan”ujar Budiono.
Penunjukan Pejabat
Selanjutnya ia berpendapat, idealnya ada perpanjangan masa jabatan untuk kepala daerah. Hal ini juga sudah pernah terjadi dan memiliki yurisprudensi. Namun, daripada penunjukan pejabat (Pj), Budiono lebih menyarankan perpanjangan masa jabatan kepala daerah.
“Perpanjangan itu, tidak rentan konflik kepentingan dari pusat yang menunjuk Pj. Karena kebijakan yang telah terlaksanakan kepala daerah bisa saja tidak dilanjutkan,” ujarnya.
Kemudian Budiono menilai perpanjangan kepala daerah lebih demokratis daripada penunjukan Pj, sebab kepala daerah merupakan hasil Pilkada oleh masyarakat. “Jadi masih relevan karena dipilih oleh masyarakat,” katanya.
Baca Juga :
https://lampost.co/lamban-pilkada/pilkades-didorong-masuk-rezim-uu-pemilu/
Sementara untuk jabatan legislatif, menurut Budiono pun hal yang paling realistis juga perpanjangan masa jabatan DPRD. Daripada pelaksanaan pemilu dengan masa jabatan singkat hanya dua tahun.
Namun menurutnya, belum ada yurisprudensi pada kasus ini.
Penundaan pemilu pernah terjadi pada awal masa Orde Baru pemerintahan Soeharto pada 1968. Soeharto ketika itu baru jadi presiden penuh pada Maret 1968. Sebelumnya, tahun 1967, itu pejabat presiden (penetapan oleh MPRS). Sedangkan untuk menyelenggarakan pemilu bulan Juli, hanya beberapa bulan dari Maret, ia merasa tidak siap. Jadi makanya mundur sampai tahun 1971.
Kemudian Pemilu 1999 yang dipercepat dari jadwal seharusnya 2002. Pemilu 1997 adalah pemilu terakhir pada era Orde Baru, sedangkan Pemilu 1999 adalah pemilu pertama era Reformasi setelah Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998
“Kita harus mitigasi resiko paling rendah, salah satunya ya perpanjangan masa jabatan ini,” katanya.
Hindari Intervensi Pusat
Pegiat Ruang Demokrasi, Wendy Melfa juga demikian. Ia menyarankan agar ada perpanjangan jabatan kepala daerah dan anggota DPR. Menurutnya perpanjangan jabatan, bisa menghindarkan upaya intervensi dari pemerintah pusat
“Perpanjangan masa jabatan kepala daerah, hindari sentralisasi kekuasaan. Pilihan kita diperpanjang, itu juga kepala daerah dan DPRD hasil pemilu,” kata mantan Bupati Lampung Selatan itu.
Sementara Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tanjung juga sependapat. Ia mengusulkan agar ada perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan DPR. “Karena ini putusan MK final dan mengikat, walau partai-partai masih melakukan kajian dari putusan tersebut,” katanya.