Jakarta (Lampost.co): Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan bahwa eks narapidana korupsi dengan ancaman pidana di bawah lima tahun bisa mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah (cakada) di perhelatan Pilkada Serentak 2024.
Pelaksana Tugas (PLT) Ketua KPU RI Mohammad Afifuddin menyebutkan bahwa mantan napi koruptor dengan ancaman 1-5 tahun dapat mengikuti kontestasi pilkada.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Demokrasi Institut, Afan Ari Kartika mengapresiasi ketegasan pernyataan PLT KPU RI. Hal tersebut menjadi bentuk ketegasan KPU terkait pencalonan.
“Khususnya bagi eks napi koruptor dengan ancaman pidana di bawah lima tahun dapat mengikuti kontestasi pilkada 2024,” kata Afan, Senin, 21 Juli 2024.
Ia menyebutkan pernyataan PLT KPU RI merupakan wujud komitmen KPU untuk menegakkan hukum dan demokrasi. Kemudian, memutus perbedaan penafsiran hukum atas penerapan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada jo Pasal 14 ayat (2) huruf f PKPU Nomor 8 tahun 2024.
Afan menyatakan sebelumnya terjadi perdebatan atas penerapan hukum pasal tersebut. Terkait apakah mantan terpidana korupsi dengan ancaman hukuman 5 tahun kebawah dapat mengikuti kontestasi pada Pilkada 2024.
“Pernyataan PLT KPU RI secara tidak langsung telah memberikan kepastian terhadap perdebatan tersebut. Mantan terpidana korupsi dengan ancaman hukuman 5 tahun kebawah dapat mencalonkan dirinya sebagai calon kepala daerah,” ujarnya.
Jaminan Konstitusi
Afan menambahkan bahwa kepastian ini merupakan wujud pengakomodasian hak politik. Artinya, hak yang ada jaminannya dalam konstitusi. Jaminan hak politik ini harus terus mendapat pengawalan. Khususnya pada daerah yang memiliki calon kepala daerah yang merupakan mantan terpidana korupsi dengan ancaman pidana di bawah 5 tahun.
“Sebagai contoh misalnya Kota Malang. Salah satu calon Walikota Malang yakni Ir. H. Mochamad Anton (abah Anton). Ia merupakan mantan terpidana korupsi dengan ancaman pidana 5 tahun kebawah. Artinya, jika berkaca pada pernyataan PLT KPU RI tersebut, maka abah Anton memenuhi persyaratan pencalonan,” kata Afan.
Namun, ia juga berharap bahwa KPU RI dapat memberikan kejelasan hukum secara resmi. Hal itu untuk memastikan konsistensi penerapan peraturan terkait.
“Saya kira KPU harus melakukan langkah-langkah konkret untuk memberikan kejelasan hukum secara resmi. Caranya dengan mengeluarkan pedoman atau produk hukum tambahan yang lebih rinci dan terperinci. Terkait penafsiran Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada jo Pasal 14 ayat (2) huruf f PKPU Nomor 8 tahun 2024,” ujar Afan.
Afan juga mengingatkan bahwa KPU RI berkewajiban memberikan panduan yang jelas bagi semua pihak. Hal itu terkait kelayakan mantan terpidana korupsi untuk ikut serta dalam proses demokrasi lokal pada masa mendatang.