Bandar Lampung (Lampost.co) – Dinamika pesta demokrasi Pilkada Serentak 2024 menjadi menarik untuk terus teramati dan tercermati. Salah satunya fenomena Pilkada melawan kotak kosong. Fenomena ini bermula pada Pilkada 2015 dan semakin banyak pada Pilkada 2024.
Direktur Lampung Political Community (LPC) Lampung, Triono menilai kotak kosong seringkali teranggap menguntungkan bagi pasangan calon tunggal. Padahal sebenarnya mencerminkan kemunduran dalam proses demokrasi.
“Fenomena ini tidak baik dalam proses demokrasi. Padahal salah satu prinsip demokrasi adalah adanya pertarungan gagasan antar kandidat. Lebih dari itu, melawan kotak kosong membuat masyarakat tidak mendapatkan pilihan lain dengan memunculkan calon-calon kandidat lainnya,” ucapnya, Rabu, 4 September 2024.
Baca Juga :
https://lampost.co/politik/hindari-konflik-politik-identitas-di-pilkada-2024/
Kemudian ia menyatakan bahwa Pilkada Serentak 27 November 2024 mendatang menunjukan fenomena melawan kotak kosong terulang kembali seperti tahun-tahun sebelumnya. Apalagi telah terakomodir dalam UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016. Pasal 54 C Ayat 1 memungkinkan pasangan tunggal terlaksanakan bila setelah penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran. Kemudian hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar dan berdasar hasil penelitian pasangan calon tersebut memenuhi syarat.
Lalu, apabila mengacu pada UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016. Pasangan calon tunggal bisa menang apabila memperoleh suara sah lebih dari 50 persen. Jika tidak tercapai, maka kotak kosong lah yang menang. Kemudian UU Pilkada mengamanatkan pemilihan suara ulang kalau kotak kosong yang menang. Proses tahapan pilkada yang terjadwalkan setelahnya itu, pejabat sementara (pj) akan memimpin daerah tersebut.
Koalisi Gemuk
Selanjutnya ia mengatakan Pilkada Serentak 2024 akan menjadi pemilihan dengan jumlah kotak kosong terbanyak sepanjang sejarah demokrasi Indonesia. Kejadian ini tetaplah sebuah pilihan politik bagi masyarakat, namun bukan pilihan yang ideal bagi demokrasi Indonesia. Fenomena ini karena tren “koalisi gemuk” karena satu paslon terusung oleh banyak partai parlemen dan non parlemen.
“Menurut saya ini kemunduran demokrasi karena kompetisi dan konstelasi politiknya hilang. Dalam pilkada ini seyogyanya masyarakat bisa melihat adu gagasan antar calon. Namun karena tidak ada lawan menjadi terasa hambar dan membuat perhelatan pilkada hanya akan menjadi semacam formalitas bagi masyarakat. Dan ini tidak sehat bagi iklim demokrasi kita,” kata Sekretaris Asosiasi Ilmu Politik (AIPI) Lampung ini.
Kemudian ia menceritakan fenomena ini muncul ketika hanya ada satu pasangan calon kepala daerah yang maju dalam pilkada atau pemilu. Hal ini bukan berarti kotak suara yang kosong. Namun dalam surat suara, pemilih dapat memilih opsi ini apabila tidak ingin memilih satu-satunya pasangan calon yang maju. Dengan demikian, daerah yang memiliki satu pasangan calon pun dapat tetap mengikuti pilkada serentak.
“Jadi dalam surat suara itu bukan berarti hanya ada satu pasangan calon itu saja. Tapi harus ada kotak kosong itu sebagai alternatif suara bagi pemilih. Dan memilih kotak kosong ini tetap merupakan hak para pemilih yang merasa tak cocok dengan paslon yang tersodorkan oleh partai politik. Berbeda dengan golput. Ketika memilih kotak kosong, surat suaranya akan tetap terhitung sebagai surat suara yang sah. Jadi pilihan tersebut tetap akan mempengaruhi hasil pemilu,” tuturnya.
Check and Balance
Selanjutnya fenomena kotak kosong ini akan berujung pada pemerintahan tanpa oposisi. Sehingga tidak ada check and balances dalam kekuasan pemerintahan. Padahal check and balances ini penting karena memiliki tujuan untuk tiga. Yakni mencegah konsentrasi kekuasaan, menjamin akuntabilitas dalam pelayanan publik, dan melindungi hak-hak individu. Lembaga legislatif akan terkuasai oleh koalisi kepala daerah terpilih, dan ini khawatir fungsi kontrol dalam pemerintahan tidak berjalan ideal.
“Dalam kondisi seperti ini, harapan terakhir agar adanya check and balances dalam kekuasaan adalah adanya kontrol dan partisipasi aktif dari masyarakat dan civil society. Era digitalisasi saat ini bisa menjadi sarana rakyat untuk memberikan kontrol, kritik, dan masukan terhadap kebijakan publik baik pusat maupun daerah.” tutupnya.