Bandar Lampung (Lampost.co) – Peneliti Senior Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Pratama berpendapat. Pemerintah harus memikirkan ulang terkait rencana penerapan sistem elektronik voting (e-voting) pada pemilu. Ia menyebut secara global, penerapan e-voting berbagai negara tidak mudah dan sudah banyak ditinggalkan.
“Beberapa negara yang awalnya menggunakan e-voting seperti Australia, Kanada, Prancis, dan Jepang, telah menghentikan atau mengurangi penggunaan sistem ini. Karena berbagai masalah terkait keamanan, keandalan, dan kepercayaan publik,” katanya mengutip Media Indonesia, Kamis, 24 Juli 2025.
Kemudian Pengurus Jaga Suara 2024 itu menjelaskan. Banyak negara yang meninggalkan e-voting. Karena sistem digitalisasi dalam proses pencoblosan bilik suara cenderung dinilai melanggar asas kerahasiaan pemilih dan transparansi data hasil pemilu sebelum terekapitulasi.
“Muara utama dari teknologi informasi adalah transparansi dan akuntabilitas. Tetapi tujuan besarnya adalah harus memenuhi syarat kepercayaan publik dan peserta pemilu. Terhadap sistem dan teknologi informasi tersebut. Jika kepercayaan itu tidak ada, maka akan banyak persoalan,” katanya.
Kemudian ia mencontohkan, ketika Pilpres Amerika Serikat (AS) antara Hillary Clinton versus Donald Trump. Saat itu banyak isu terhadap penggunaan e-voting. Sehingga Kongres dan Senat AS membentuk tim investigasi khusus terhadap penggunaan teknologi e-voting.
Lalu, pemilu Jerman, ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Jerman yang mengembalikan penggunaan surat suara manual dari e-voting. Pasalnya, penggunaan e-voting cenderung melanggar asas kerahasiaan pemilih dan transparansi data hasil pemilu.
Selain itu, Heroik menuturkan penerapan e-voting akan menggantikan formulir C yang ada di TPS. Sehingga akan menyulitkan untuk melihat data sumber utamanya.
Menutup Ruang Partisipasi
Kemudian e-voting, juga akan menutup ruang partisipasi publik untuk memastikan proses akurasi penghitungan suara itu terjadi. Meski dalam e-voting terdapat sistem Voter Verified Paper Audit Trail (VVPAT) atau kertas yang menjadi salah satu alat bantu ketika terjadi sengketa untuk melihat akurasi dari hasil penghitungan.
Belum lagi, lanjut Heroik, penerapan e-voting secara biaya akan menelan biaya yang cukup mahal. Hal ini terlihat dari harga mesin, perawatan, sistem audit yang harus dilakukan.
Alih-alih menerapkan sistem e-voting yang berpotensi memiliki banyak tantangan. Heroik lebih merekomendasikan agar pemerintah memperkuat sistem elektronik rekapitulasi (e-rekap). Ini untuk pemilu Indonesia agar keperluan tabulasi data jauh lebih efektif dan efisien.
“Kita sudah cukup panjang mengadopsi teknologi pada proses rekapitulasi untuk kebutuhan tabulasi data. Kemudian juga punya situasi empiris pada pemilu dan pilkada 2024 yang bisa menjadi dasar perbaikan. Kita juga melihat tingkat akurasi dan kecepatan hitung e-rekap jauh lebih tinggi dan cepat,” jelasnya.