Bandar Lampung (lampost.co)–Popularitas angkutan kota (angkot) makin meredup seiring gempuran transportasi online. Bagi Eri (52), sopir angkot jalur Natar, kondisi ini jadi tantangan harian yang harus dijalani dengan sabar.
“Sudah lima tahun narik angkot, mulai 2015. Sekarang sehari dapat Rp40.000 sampai Rp100.000, kadang cuma cukup buat beli minyak, kadang nombok,” ujarnya.
Menurut Eri, ojek dan taksi online jadi penyebab utama penurunan jumlah penumpang. Namun, masih ada segelintir kalangan yang setia memakai angkot, seperti pelajar dan pengunjung pasar.
“Anak sekolah masih banyak yang naik. Tarif pelajar Rp3.000, umum Rp5.000,” jelasnya.
Eri mengemudikan angkot milik koperasi. Ia tetap harus membayar pajak dan mengikuti uji kelayakan kendaraan (KIR) tiap tahun. Meski biaya operasional cukup berat, ia mengaku tidak punya banyak pilihan lain.
Ia keberatan dengan perluasan transportasi online hingga ke desa-desa seperti Natar.
“Kalau bisa, jangan semua daerah diambil. Bagi-bagi lokasi saja. Kalau ojek online masuk kampung, angkot makin sepi,” keluhnya.
Setiap hari, Eri beroperasi dari pukul 07.00 hingga 17.00. Dengan penghasilan tak menentu, ia bertahan karena usia dan kondisi fisik yang tak memungkinkan pindah profesi.
“Kalau mau kerja lain, umur sudah tua. Mau kerja bangunan juga tidak sanggup. Ini yang bisa saya kerjakan,” ujarnya.
Berharap Solusi
Eri berharap pemerintah memberikan solusi agar angkot tetap bertahan dan mendapat tempat dalam sistem transportasi perkotaan.
Angkot Bukan Pilihan Mahasiswa
Di sisi lain, Zydan Alfarizy Latif, seorang mahasiswa, mengaku sudah lama tidak menggunakan angkot.
“Pertama, males nunggunya. Angkot kan gak jelas jam operasionalnya,” katanya.
Ia juga menyoroti kenyamanan angkot.
“Panas. Angkot penuh banget. Bikin gerah. Gak ada peredam, gak ada pelindung dari panas,” jelasnya.
Keramaian dalam angkot juga jadi faktor ketidaknyamanan.
“Biasanya angkot rame sama ibu-ibu pengajian, orang kerja yang pulang, segala macam,” tambahnya.
Kini, akses ke angkot makin sulit. Zydan lebih memilih kendaraan pribadi atau transportasi online seperti Gojek, Grab, dan Maxim yang lebih praktis dan nyaman.
“Mungkin angkot jadi opsi terakhir, kalau misalnya gak dapet ojek online,” ujarnya.
Zydan terakhir naik angkot saat SMP, saat belum diperbolehkan membawa motor sendiri. Ia masih ingat tarif pelajar saat itu Rp2.000 untuk rute Brimob Sukarame. (Taufik Hidayah)