Bandar Lampung (Lampost.co)– Staf Khusus Presiden RI Bidang Inovasi, Pendidikan, dan Daerah Terluar, Billy Mambrasar, mengungkapkan keprihatinannya terhadap rendahnya minat generasi muda, khususnya Gen Z, untuk memilih profesi guru.
Berdasarkan rapat dengan DPR RI dengan Kemendikbudristek tahun 2021, Indonesia masih kekurangan 947.845 guru.
Hal itu menurutnya generasi saat ini khususnya generasi Z, menempati guru sebagai prioritas terakhir dalam daftar profesi yang mereka minati.
“Jika tren ini terus berlanjut. Kita akan kekurangan talenta-talenta terbaik yang seharusnya dapat berkontribusi dalam meningkatkan kemampuan intelektual anak-anak bangsa,” ujar Billy, Selasa, 3 September 2024.
Billy juga mengusulkan sebuah kebijakan yakni pendirian institusi pendidikan berbasis guru. Yang mirip dengan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) atau Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).
Menurutnya, institusi ini akan menerima talenta-talenta terbaik untuk menjadi guru, dengan jaminan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan gaji yang memadai.
“Dengan adanya institusi khusus ini, profesi guru akan lebih menarik bagi talenta-talenta muda yang berpotensi besar. Jika institusi lain saja ada, kenapa untuk guru yang begitu penting, krusial, dan esensial, belum ada?” ungkapnya.
Selain rendahnya minat guru, Billy juga menyoroti perubahan perilaku generasi Z yang di nilai telah kehilangan rasa hormat terhadap profesi guru.
Hal ini, menurutnya, pengaruh oleh media sosial dan nilai-nilai luar yang merusak nilai-nilai asli bangsa yang membuat profesi guru rendah di mata masyarakat.
“Profesi guru adalah dedikasi mulia. Namun, tanpa rasa aman dan nyaman, sulit bagi mereka untuk menjalankan tugasnya dengan baik,” tambah Billy.
Dalam kesempatan yang sama, Billy juga menyinggung lemahnya supervisi dan monitoring penggunaan anggaran pendidikan. Terutama yang berasal dari transfer pusat ke daerah.
Kebutuhan Pendidikan
Billy menambahkan 20 persen anggaran pendidikan nasional tahun ini sebanyak Rp665 triliun. Dari Rp665 triliun, sebanyak 52 persen dari anggaran pusat menyerahkan kepada pemerintah daerah untuk kebutuhan pendidikan.
Namun, anggaran tersebut hanya diserap untuk pembangunan infrastruktur dan pemeliharaan sekolah, tetapi meminggirkan kesejahteraan guru.
Billy menegaskan, pentingnya kebijakan yang mendeskripsikan mekanisme supervisi penganggaran pendidikan agar dana yang dialokasikan benar-benar sampai ke sasaran yang membutuhkan.
“Ke depannya, anggaran besar ini harus mendapat supervisi langsung dari pemerintah pusat, meskipun kita berada dalam era otonomi daerah (Otda). Pendidikan dilindungi oleh konstitusi dan merupakan hak semua anak bangsa,” pungkasnya.