Bandar Lampung (Lampost.co)— Penggunaan vape, atau rokok elektronik, semakin populer di kalangan masyarakat, terutama generasi muda.
Vape digemari karena menganggap lebih aman dan modern dari pada rokok konvensional. Vape menawarkan sensasi merokok dengan rasa dan aroma yang beragam.
Para peneliti memperingatkan bahwa penggunaan e-rokok secara rutin membawa risiko tersendiri. Khususnya bagi remaja.
Baca juga: Anak Dibawah Umur Asal Lamteng Curi Rokok Hingga Uang Receh, LPA Beri Penadampingan
Mengutip Medical Daily, remaja yang sering vaping memungkinkan menghadapi peningkatan paparan logam berbahaya seperti timbal dan uranium.
Ke duanya berpotensi memengaruhi perkembangan otak dan organ secara negatif.
Dari temuan yang terbit di jurnal Tobacco Control, para peneliti merekomendasikan penerapan regulasi dan inisiatif pencegahan yang menujukkan khusus bagi para remaja.
Vaping umum di kalangan remaja, dengan sekitar 14% siswa sekolah menengah AS (sekitar 2,14 juta) dan lebih dari 3% dari siswa sekolah menengah pertama (sekitar 380.000) melaporkan melakukan vaping pada sebulan terakhir di 2022.
Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa beberapa logam berbahaya terdapat pada aerosol dan cairan e-rokok. Ini sangat berisiko selama tahap perkembangan.
Gangguan Kognitif
Oleh sebab itulah yang dapat menyebabkan gangguan kognitif, masalah perilaku. Masalah pernapasan, kanker, dan penyakit jantung pada anak-anak.
Dalam studi terbaru itu, para peneliti memeriksa apakah frekuensi dan rasa vaping berkorelasi dengan tingkat logam beracun yang berpotensi.
Mereka menggunakan data dari Gelombang 5 Studi Anak Muda PATH, menganalisis tanggapan dari 1607 remaja berusia 13 hingga 17 tahun.
Penelitian tersebut yakni mencakup rasa vaping. Mulai dari mentol atau mint, buah, permen seperti cokelat atau makanan penutup.
Juga tembakau, cengkeh atau rempah-rempah, dan minuman beralkohol atau non-alkohol.
Dari peserta 200 remaja termasuk dalam analisis akhir sebagai vaper eksklusif. Sampel urine mereka diuji untuk keberadaan kadmium, timbal, dan uranium.
Berdasarkan frekuensi vaping mereka, mereka masuk kategori sebagai vapers sesekali (1–5 hari/bulan). Vapers intermiten (6–19 hari), dan vapers sering (20+ hari).
Ada 65 pengguna sesekali, 45 intermiten, dan 81 pengguna sering, dan informasi tentang frekuensi vaping hilang untuk 9 orang. Mengenai rasa, 33 persen dari vapers mengatakan mereka menggunakan rasa mentol/mint.
Sementara 50 persen lebih memilih rasa buah, sedikit lebih dari 15 persen memilih rasa manis, dan 2 persen menggunakan rasa lain.
“Analisis sampel urine menunjukkan bahwa tingkat timbal 40 persen lebih tinggi di antara vapers intermiten. Dan 30 persen lebih tinggi di antara vapers sering daripada di antara vapers sesekali,” demikian pernyataan pers.
“Tingkat uranium urine juga dua kali lebih tinggi di antara vapers sering daripada di antara vapers sesekali. Perbandingan jenis rasa menunjukkan tingkat uranium 90% lebih tinggi dari vapers yang lebih memilih rasa manis daripada di antara mereka yang memilih mentol/mint,” sambungnya.
Karena studi ini bersifat observasional, kesimpulan definitif tidak dapat mengambil tentang tingkat logam beracun dan frekuensi/rasa vaping.
Paparan Logam
Selain itu, tingkat logam beracun dalam vape akan bervariasi menurut merek dan jenis vaporizer yang digunakan (tank, pod, mod).
Penggunaan e-rokok selama masa remaja dapat meningkatkan kemungkinan paparan logam. Inilah yang dapat memengaruhi perkembangan otak dan organ secara negatif.
Temuan ini memerlukan penelitian lebih lanjut, regulasi vaping, dan intervensi kesehatan masyarakat yang ditargetkan untuk mengurangi potensi bahaya penggunaan e-rokok, terutama di kalangan remaja.