Bandar Lampung (Lampost.co) – Jadwal operasional kereta api Babaranjang yang melintasi wilayah perkotaan Bandar Lampung terus menuai keluhan. Pasalnya, setiap kali kereta angkutan batu bara ini melintas, selalu terjadi gangguan lalu lintas yang menghambat pergerakan masyarakat.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Lampung, Erwin Oktafianto, menyampaikan bahwa situasi ini merupakan persoalan lama yang tak kunjung mendapat perhatian serius dari pihak penyelenggara, khususnya PT Kereta Api Indonesia (PT KAI).
“Setiap kereta Babaranjang melintas, pergerakan warga melambat selama 10 hingga 15 menit. Ini jelas mengganggu dan merugikan produktivitas masyarakat,” ujarnya dalam wawancara via telepon, Selasa, 22 April 2025.
Erwin menambahkan, rencana penambahan jumlah lokomotif Babaranjang oleh PT KAI justru menambah kekhawatiran warga. Sebab, frekuensi gangguan pasti meningkat.
“Penambahan ini harusnya bersamaan dengan evaluasi menyeluruh agar tidak memperparah kemacetan,” tegasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa sempat ada wacana pemindahan jalur Babaranjang ke area yang minim aktivitas warga. Sayangnya, hingga kini wacana tersebut belum terealisasi karena belum adanya kesepakatan antara pemerintah dan PT KAI.
Penyesuaian Jadwal
Meski demikian, menurut Erwin, evaluasi jadwal operasional kereta Babaranjang tetap menjadi opsi paling rasional dan mendesak. Penyesuaian jadwal dengan mempertimbangkan waktu padat aktivitas warga bisa meminimalkan kerugian.
“Kerugian yang timbul bukan hanya waktu, tapi juga dampak psikologis karena harus menunggu lama. Ini jelas mengurangi produktivitas dan bahkan berdampak secara ekonomi,” ungkapnya.
Ia menilai PT KAI pasti memiliki data dan perhitungan waktu operasional. Data itu bisa menjadi dasar untuk merancang jadwal yang tidak berbenturan dengan jam sibuk masyarakat.
“Dalam satu hari, aktivitas masyarakat bisa kita petakan. Hindari waktu-waktu produktif untuk operasional Babaranjang,” ucapnya.
Sebagai solusi, MTI Lampung menyarankan agar operasional Babaranjang dialihkan ke malam hari, ketika aktivitas warga cenderung rendah. Atau jika tetap beroperasi di siang hari, maka jadwalnya harus menghindari jam-jam sibuk.
“Jangan hanya mengejar efisiensi dan keuntungan perusahaan. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi bom waktu yang merugikan masyarakat luas,” tutupnya.