Opini
Abd. Rahman Hamid
Dosen Sejarah UIN Lampung; Peserta MBJR 2024
.
Bandar Lampung (Lampost.co) — Setelah mengarungi Jalur Rempah Nusantara rute Jakarta-Sabang (singgah di Malaka), kapal latih TNI AL KRI Dewaruci akhirnya lego jangkar pada wilayah Teluk Lampung jelang fajar, Rabu, 10 Juli 2024. Mengapa singgah di Lampung?
.
Hal ini tak lepas dari kontribusi Lampung dalam sejarah perdagangan dan jalur rempah Nusantara, khususnya lada, selama lebih kurang dua abad. Salah satu sumber tua mengenai lada adalah Suma Oriental Time Pires yang ditulis di Malaka antara tahun 1512-1515. Ia menyebutkan bahwa ada dua daerah yang menghasilkan lada di daerah ini, yakni Cacampom (Sekampung) dan Tulimbavam (Tulangbawang). Lada dibawa oleh penduduknya menggunakan perahu lanchara untuk dijual ke Banten dan Jawa (baca: Sunda Kelapa).
.
Lada (piper nigrum) merupakan jenis tanaman rambat yang dibawa oleh pelaut dan pedagang India ke Nusantara lewat Samudera Pasai dan Pidie sekitar abad ke-13, kemudian diperluas ke daerah pedalaman Sumatera (Minangkabau), Tanah Semenanjung Malaya, Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan antara abad ke-15 hingga abad ke-17.
.
Baca Juga : https://lampost.co/humaniora/muhibah-budaya-jalur-rempah-kri-dewaruci-akan-singgah-di-lampung-ini-agendanya/
.
Kemudian karena iklim Lampung yang panas dan lembab sangat cocok untuk membudidayakan lada. Daerah Abung, berdekatan dengan Sungkai dan Besai, merupakan area produksi lada terbaik. Begitu pula daerah perbukitan di bagian baratnya, tulis Broersma (1916) dalam De Lampoengsche Districten.
.
Hingga kini, belum ada jenis komoditi niaga yang punya daya ungkit luar biasa terhadap sejarah Lampung melampaui lada. Lada lah yang membuat Lampung mendunia. Jejaknya pun dapat tertemukan dalam berbagai warisan kesenian, budaya, dan politik Lampung.
.
Kemudian lada terpatri dalam ingatan kolektif masyarakat Lampung, sehingga lahirlah lagu Tanoh Lado karya Fath Syahbudin, sebagai salah satu lagu khas Provinsi Lampung. Lagu ini sesungguhnya mencerminkan kejayaan lada masa silam. Pada masa kejayaan lada, pengrajin kain Tapis menggunakan benang emas dari Cina dan India. Tapis kini pun menjadi ikon Lampung. Selain itu, kita juga menemukan lada dalam logo pemerintah daerah Provinsi Lampung, yang bersanding dengan padi.
.
Jadi, betapa penting lada sejarah masyarakat Lampung. Bahkan pada awal abad ke-20, masyarakat Sukadana pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah dengan membawa lada, kata seorang warga kepada penulis saat riset calon Pahlawan Nasional KH Ahmad Hanafiah pada tahun 2021.
.
Perebutan Lada Lampung
.
Lada Lampung merupakan lada terbaik dunia, setelah lada dari Kerala India Selatan, tulis Stockdale (2014) dalam bukunya, The Island of Java. Buku ini pertama kali terbit tahun 1811. Kalau merujuk catatan Tome Pires, lada Lampung mulai terbudidayakan sekitar paruh kedua abad ke-15.
.
Sejak abad ke-16, tidak ada kekuatan ekonomi dan politik dominan lokal yang mampu mengendalikan produksi dan perdagangan lada. Tak heran bila lada Lampung menjadi rebutan antara kekuatan politik sekitarnya. Terutama Banten yang pada awal abad ke-16 telah tumbuh menjadi pelabuhan niaga lada, serta Palembang.
.
Selanjutnya, ketika Banten menjadi kota pelabuhan dunia pada abad ke-17, sumber utama lada yang terekspor ke luar negeri berasal dari Lampung, yakni sekitar 80-90 persen. Untuk memastikan ketersediaan lada bagi pelabuhannya. Sultan Banten mewajibkan setiap pria Lampung yang sudah menikah menanam 1.000 pohon lada dan yang belum menikah sebanyak 500 pohon.
.
Baca Juga : https://lampost.co/nasional/kolaborasi-wujudkan-jalur-rempah-jadi-warisan-budaya-dunia/
.
Kemudian Sultan Banten menempatkan empat pejabatnya, yang tersebut jinjem, Menggala (Tulang Bawang), Semangka, Seputih, dan Teluk Betung. Tugas mereka adalah memastikan bahwa penduduk menanam, merawat, dan menjual lada kepada Banten dengan harga yang telah ditentukan dan murah (Canne, 1862; TNI, 1862).
.
Sultan Banten memerintahkan para pemimpin Lampung untuk mengontrol rakyatnya supaya giat menanam lada. Jika perintah tersebut tidak terlaksanakan, maka mereka dipanggil ke istana Banten untuk mempertanggungjawabkannya. (Talens 2004).
.
Lalu, Sultan Banten memberikan gelar kehormatan dan piagam kepada para pemimpin Lampung yang membawa banyak lada ke Banten. Bahkan, penyelesaian masalah lokal pun tak lepas dari seberapa banyak lada yang dapat diberikan kepada Banten.
.
Kemudian, Sultan Banten juga mengutus para ulama dari Banten untuk menyiarkan agama Islam pada wilayah Lampung. Sekaligus untuk memberikan penguatan kepada penduduk lokal untuk mensukseskan misi niaga lada Banten di Lampung.
.
Palembang
.
Selain Banten, Palembang juga berupaya mendapatkan lada Lampung. Dengan bantuan Palembang, penduduk sepanjang Sungai Tulang Bawang menggali kanal untuk menyatukan Way Umpu dan Tulang Bawang agar memudahkan pedagang lada menghindari pos dagang Banten.
.
Selanjutnya, Sultan Palembang memberikan sejumlah gelar (Raja Alam, Aria, dan Pangeran) kepada para pemimpin Pakuan, Pagar Dewa, dan Menggala. Meskipun Tulang Bawang jatuh ke tangan Banten (1738). Kemudian membatasi Palembang untuk mendapatkan lada, namun penduduknya lebih senang menjual lada kepada Palembang. Karena membelinya dengan harga yang lebih mahal dari Banten (Andaya 2016).
.
Kendatipun demikian, pengaruh Banten begitu kuat terhadap penduduk Lampung, sehingga lada Lampung lebih banyak terbawa ke Banten. Itulah sebabnya, VOC Belanda yang juga ingin mendapatkan lada Lampung memanfaatkan konflik internal Banten. Belanda mendukung usaha pangeran Banten, Sultan Haji, merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Pada saat itu Inggris, Portugis, dan Denmark membantunya.
.
Kemudian, setelah Sultan Haji berhasil merebut takhta Banten, perdagangan lada Lampung berada pada bawah pengaruh Belanda. Selanjutnya Belanda membangun benteng pada Menggala dan Semangka oleh pimpinan dua residen untuk mengontrol jaringan perdagangan lada. Walhasil, Bumi Ruwa Jurai menjadi sumber utama lada bagi VOC di Batavia.
.
Sementara itu, EIC-Inggris yang telah terusir dari kota Banten oleh Sutan Haji dan VOC kemudian membangun lojinya di Bengkulu tahun 1685. Mereka tetap berusaha untuk mendapatkan lada Lampung dengan cara menembus blokade dagang VOC di Teluk Semangka. Seperti Kapten Thoms Forrest dengan kapal Tartar Galley dari Bengkulu.
.
Ia bekerja sama dengan para nakhoda dan pedagang lada Minangkabau, Semangka. Setelah itu, demi menghindari tekanan dari Belanda, orang-orang Minangkabau pindah ke Krui di bawah perlindungan Inggris pada Bengkulu.
.
Gambaran ini menunjukkan bahwa jaringan niaga lada Bumi Ruwa Jurai dengan Banten, Palembang, Batavia (Belanda), dan Bengkulu (Inggris) telah membawa daerah ini dalam arus perdagangan lokal dan internasional selama dua abad.
.
Sementara wilayah produksi lada tersebar di Kalianda, Teluk Betung, Seputih, Semangka, Pamet, Sekampung, Niebung, dan Tulang Bawang. Dari data produksi tahun 1780–1786, tampak bahwa daerah yang paling banyak menghasilkan lada ialah Kalianda dan Semangka (Broersma, 1916).
.
Menuju Warisan Dunia
.
Kini, pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan KEMDIKBUD RISTEK tengah menyiapkan berbagai bahan dan langkah konkrit untuk mengusulkan Jalur Rempah sebagai warisan dunia kepada UNESCO. Selain kajian dan publikasi ilmiah tentang jalur rempah, pemerintah juga menyelenggarakan pelayaran Muhibah Budaya Jalur Rempah atau (MBJR) 2020, 2023, dan 2024. Pelayaran itu menggunakan KRI Dewaruci menyusuri Jalur Rempah membawa ratusan laskar rempah dari berbagai provinsi Tanah Air.
.
Tahun ini, rutenya terentang antara Jakarta–Sabang (pergi-pulang). Peserta muhibah mengabarkan kepada dunia lewat berbagai platform media sosial mereka tentang potensi budaya, seni, tradisi, dan sebagainya dari setiap daerah yang tersinggahi oleh Dewaruci. Dengan demikian, kehadiran MBJR pada gilirannya juga memperkuat promosi potensi daerah-daerah Jalur Rempah Nusantara.
.
Lalu, apakah Lampung kini dan esok dapat mendunia seperti dahulu ketika lada menjadi komoditas primadona perdagangan dunia?