Bandar Lampung (Lampost.co)—Polda Lampung menyelidiki kasus dugaan mafia tanah di 8 desa di Lampung Timur. Penyelidikan itu buntut dari aduan ratusan petani penggarap.
Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Umi Fadilah Astutik, mengungkapkan pihaknya telah beraudiensi dengan ratusan petani yang datang. Mereka meminta Polda Lampung mengusut dugaan adanya mafia tanah yang merampas lahan yang telah mereka garap.
Sebagai langkah awal, polisi langsung melakukan koordinasi dengan Kanwil ATR/BPN Lampung Timur. Koordinasi itu untuk mengumpulkan data terkait dugaan penyerobotan lahan oleh mafia tanah seperti yang masyarakat sampaikan.
“Untuk Lampung Timur, saat ini petugas dari Ditreskrimum dan Polres Lampung Timur langsung ke sana (Kantor BPN Lampung Timur) sore ini,” ujarnya, Kamis (17/10/2024).
Datangi Polda
Sebelumnya, ratusan petani penggarap dari Lampung Timur melakukan demonstrasi di Mapolda Lampung, Kamis (17/10/2024). Aksi tersebut terkait dugaan adanya mafia tanah yang menyertifikasi tanah yang telah menjadi garapan petani setempat.
Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi, mengungkapkan para petani Desa Sripendowo sudah menyampaikan aduan dugaan tersebut sejak 29 Mei 2024. Namun tidak ada tindakan dari Polda Lampung untuk menindaklanjuti aduan tersebut.
“Hingga saat petani mendatangi Polda Lampung hari ini, proses pengungkapan aduan tersebut belum dan tidak dilakukan,” ujarnya.
Salah satu petani yang mengikuti aksi, Suparjo, mengatakan para petani di desanya telah menggarap lahan sejak tahun 1960-an secara turun temurun. Selama waktu tersebut para petani tidak pernah mengajukan sertifikasi lahan.
Tiba-tiba, ujarnya, pada 2021 lalu terbit sertifikat atas lahan tersebut dari BPN. Menurutnya, seratusan sertifikasi yang terbit atas orang yang bukan warga desa setempat.
“Total ada 401 hektare tanah di delapan desa, termasuk tempat saya di Desa Sripendowo,” kata dia.
Para pemilik sertifikat tanah tersebut sempat melakukan pertemuan dengan para petani penggarap. Dalam pertemuan itu, pemilik sertifikat meminta para petani membeli lahan tersebut dengan nilai Rp250 juta per hektare.
“Kami enggak mau, karena lahan itu sudah petani setempat garap sejak puluhan tahun,” ujarnya.
Kemudian, para petani bersama LBH Bandar Lampung menyampaikan aduan dugaan mafia tanah pada Mei 2024 lalu. Namun hingga lima bulan bergulir, belum ada tindak lanjut dari kepolisian untuk menyelidiki dugaan tersebut.