Kotabumi (Lampost.co): Di kala harga pasaran kopi dunia tinggi, petani kopi di Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung tidak dapat menikmatinya. Mereka dihadapkan kepada harga terima dari pengepul atau yang sering warga setempat sebut cingkaw, jauh dari harga standar. Pasalnya, di saat musim panen kopi akan berakhir, harganya malah semakin merosot.
Berdasarkan penuturan Tono, warga Lampung Utara, itu biasa terjadi saat memasuki hari besar nasional. Seperti misalnya hari kemerdekaan atau 17 Agustus.
Baca juga: Gara-gara Suara Bising Motor, Pemuda di Pringsewu Habisi Tetangganya
Namun, dari informasi yang diterima dari pengepul, anjloknya harga kopi penyebabnya adalah adanya praktek culas yang petani lakukan dengan memakai pestisida untuk mengeringkan secara cepat hasil panen kopinya.
Sehingga hal demikian mempengaruhi kualitas produksi yang tanaman kopi hasilkan. Meski tidak secara keseluruhan, namun berdasarkan hasil penelitian secara ilmiah, terdapat penemuan kandungan pestisida di ambang batas yang menjadi ketentuan.
“Akibatnya, masyarakat yang menggantungkan hidup dari kebun kopi mendapat imbas tak mengenakkan tersebut. Saat ini panen petani hanya pengepul terima Rp60 ribu per kilogram untuk kualitas asalan,” ujar Lek Tono, sapaan akrabnya, kepada Lampost.co, Sabtu, 27 Juli 2024.
Dia menerangkan sebelumnya harga kopi asalah sempat tembus di atas Rp70 ribu per kilo. Demikian juga dengan kualitas super, dengan ciri petik merah, kadar air sedikit serta pengolahan yang tak biasa.
“Kualitas super hanya dihargai kurang dari Rp75 ribu per kilo. Padahal sebelumnya sempat menebus di atas Rp80 ribu per kilo di daerah Liwa, Kabupaten Lampung Barat,” kata dia.
“Kami cuma berharap harga kopi semakin membaik. Sebab apa? Saat ini itu satu-satunya andalan petani kopi, khususnya di Kabupaten Lampung Utara dan umumnya Provinsi Lampung adalah untuk menyambung hidup,” ujar Tono.
Kejayaan Lada Meredup
Tono mengaku tidak pernah melakukan hal-hal yang pengepul tuduhkan. Namun akibat perbuatan segelintir oknum, petani kopi setempat harus rela menerima komplain dari pengepul setempat.
Sebagai petani kampung, dia hanya tahu menjemur dan memetik kopi. “Selebihnya tidak tahu menahu terkait obat-obatan biar kopi cepat kering itu. Persoalan petani di lapangan itu sulit memperoleh pupuk. Selain itu kurangnya pendampingan oleh petugas serta dukungan pemerintah,” terangnya.
Hal demikian, tidak berbeda jauh dengan nasib lada yang kini tinggal namanya saja. Sementara pantauan Lampost.co di lapangan hampir sudah tidak ada kegiatan petani memanen maupun menjemur lada.
“Yang ada di desa saat ini rata-rata petaninya sudah tua. Sebab apa? Tidak ada kepastian (komoditas lada), baik itu harga maupun pendampingan dari pemerintah,” timpal warga lainnya, Edi.
Mereka berharap ada pendampingan dari pemerintah. Mulai dari ketersediaan sarana dan prasarana pendukung masa tanam, harga komoditas sampai permodalan.
“Kalau nasib petani dapat terangkat, pastinya kaula muda tidak tergiur pergi ke kota hanya untuk mencari penghidupan,” kata dia.
Ikuti terus berita dan artikel Lampost.co lainnya di Google News.