Kotaagung (Lampost.co) — Polemik pembagian Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mencuat pada Kabupaten Tanggamus. Apalagi setelah kasus jatah yang “menyusut” terjadi pada SMPN 1 Kotaagung Timur (Kotim).
Kemudian fenomena ini memicu kekecewaan wali murid. Seharusnya program nasional tersebut mampu berjalan transparan, berjenjang, dan bebas dari problem teknis yang merugikan siswa.
Selanjutnya sejumlah wali murid mengaku bingung dengan nilai paket MBG yang terbagikan selama masa libur. Apalagi jatah harian Rp10.000 yang terakumulasi untuk beberapa hari justru tidak tampak utuh dalam paket yang diterima. Kondisi ini membuat publik mempertanyakan efektivitas pengawasan Pemerintah Daerah Tanggamus terlebih dengan besarnya anggaran MBG.
Namun sayangnya, berdasarkan regulasi, kewenangan pemerintah daerah ternyata sangat terbatas. Pemerintah Kabupaten Tanggamus hanya berperan sebagai Satgas MBG. Ini tanpa ruang untuk mengaudit, mengevaluasi, atau memeriksa keuangan dapur MBG maupun SPPG.
Hal ini membuat warga menilai bahwa regulasi MBG saat ini meninggalkan ruang abu-abu dalam kontrol publik. Satu sisi, masyarakat mengadukan keluhan kepada pemerintah daerah. Namun sisi lain, Pemda tidak mendapat kewenangan untuk membuka atau memeriksa dapur MBG, baik dari sisi keuangan maupun operasional.
Kemudian Koordinator Sekretariat Satgas MBG Kabupaten Tanggamus, Feri Setiawan merespon hal tersebut. Ia menegaskan bahwa Pemda hanya memiliki fungsi pengawasan administratif dan kelembagaan. Bukan pengawasan teknis hingga ke nilai jatah atau proses pemenuhan menu.
“Kami Satgas hanya fokus pada kelembagaan dan perizinan. Soal apakah pembagian sesuai atau tidak, itu bukan ranah kami. Pertanggungjawaban keuangan SPPG langsung kepada BGN, bukan Pemda,” ujar Feri, Rabu, 24 Desember 2025.
Kewenangan SPPG
Selanjutnya pernyataan tersebut mempertegas bahwa potensi ketidaksesuaian nilai paket atau dugaan penyusutan jatah. Ini sebenarnya berada sepenuhnya di ranah SPPG dan mitra dapur yang mengoperasikan MBG sehari-hari. Artinya, jika terjadi kekeliruan, kelalaian, atau dugaan margin berlebih. Maka penyelesaiannya harus tertelusuri langsung melalui mekanisme internal SPPG.
Kemudian Feri menegaskan bahwa aturan dan kewajiban tertujukan kepada SPPG dan mitra dapur. Bukan pemerintah daerah maupun Satgas.
“Kalau terkait itu, sebenarnya bersangkutan pada dapur SPPG. Mereka tidak pernah lapor ke kita. Itu ranah mereka, sudah sangat detail aturannya,” tegasnya.
Lalu ia menambahkan bahwa anggaran MBG berasal langsung dari pemerintah pusat dan tidak melalui pemerintah kabupaten.
“MBG ini penganggarannya langsung dari pusat. Tidak ada satu rupiah pun yang ke Pemda. Kami Satgas tidak punya kewenangan mengaudit keuangan mereka. Pertanggungjawaban SPPG itu langsung kepada BGN,” jelasnya.
Kemudian menurut Feri, Satgas hanya fokus pada percepatan pembentukan kelembagaan, pembangunan infrastruktur. kelengkapan perizinan, dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) serta syarat teknis lainnya.
“Kalau ada keluhan masyarakat, kami teruskan kepada SPPG-nya. Tapi soal apakah pembagian sesuai atau tidak, itu bukan kewenangan kami,” ujarnya.
Selanjutnya Satgas memastikan bahwa tugas mereka lebih pada aspek legalitas, dampak lingkungan, dan pemenuhan syarat teknis. Bukan pada evaluasi besaran paket MBG.








