Bandar Lampung (Lampost.co) — Pemerintah Provinsi Lampung komitmen untuk serius dan fokus dalam menangani permasalahan kendaraan bermuatan berat atau Over Dimension Overloading (ODOL). Apalagi yang saat ini tengah menjadi permasalahan hangat.
Hal tersebut karena banyaknya aksi penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Over Dimension Overloading (RUU ODOL). Utamanya oleh para sopir angkutan yang berada pada wilayah Pulau Jawa.
Sementara dampak yang paling terasa adalah kenaikan bahan pokok ikut berdampak dari penolakan yang dilakukan supir angkutan. Hal tersebut tidak hanya terasakan oleh masyarakat Pulau Jawa saja, sebab Lampung pun kenaikan mulai terasakan.
Kepala Dinas Perhubungan Lampung, Bambang Sumbogo mengatakan. Pihaknya memberikan kebijakan yang dapat memberikan kepercayaan kepada masyarakat serta sopir angkutan barang.
“Yang jelas kebijakan ini harus ada edukasi dan sosialisasi. Tanpa itu tidak bisa. Harapannya masyarakat bisa paham, supir angkutan tahu seperti apa aturan yang jelas,” ujar Bambang Sumbogo, Minggu, 22 Juni 2025.
Kemudian dalam merumuskan kebijakan juga, pihaknya mengajak para praktisi, para pemilik kendaraan angkutan barang, para pemilik perusahaan. Apalagi yang mendapat pengertian terkait larangan muatan kendaraan yang berlebih.
“Mau alasan inflasi dan lainnya sebenarnya tidak boleh, pelanggaran itu. Kalau dulu konsep boleh melanggar asal bayar sekarang tidak bisa dan tidak bagus. Kita harus tertibkan untuk kedepannya lebih baik,” ucapnya.
Selanjutnya Bambang jelaskan bahwa salah satu program yang harus terterapkan menurutnya adalah normalisasi kendaraan. Pengujian kendaraan yang ketat dan berjalan dengan baik.
“Cikal bakal kendaraan dari awalnya harus menjadi perhatian. Kalau awal uji kendaraan layak pasti kedepannya bagus. Tapi kalau ada yang tidak baik dari segi ukuran misal tinggi bak atau tambahan panjang sasis, harus ada pemotongan,” katanya.
Aksi Unjuk Rasa Sopir
Terkait aksi unjuk rasa sopir Pulau Jawa terkait rencana penerapan aturan ODOL. Bambang Sumbogo mengaku tidak mengetahui permasalahannya dengan detail. Menurutnya, dampak dari kendaraan ODOL tentu berkaitan dengan infrastruktur jalan dan juga keamanan dalam perjalanan.
“Selama ini permasalahan belum selesai artinya harus mencari skema-skema. Dan formula salah satunya nanti terkait ODOL akan ada aturan nanti sistem pengawasan harus dari pabrik,” katanya.
Kemudian pengawasan dari pabrik untuk kendaraan angkutan atau logistik tersebut penting agar tidak melanggar peraturan. “Kalau kendaraan nya berat itu akan merusak jalan. Ketika dari hulu sudah kita cegah, kita tidak perlu mengembalikan lagi pada pelabuhan atau melakukan pengawasan jadi skema ini akan kita lakukan. Mungkin tidak semua dari pabrik tapi meminimalkan,” katanya.
Sementara jelang penerapan aturan tersebut. Ia mengusulkan agar jalan tol bisa menolak kendaraan ODOL yang telah tertetapkan peraturan menterinya. “Pada pintu tol kalau pasang alat deteksi ukuran kendaraan lebih baik ya. Jadi kalau terdeteksi ODOL maka tidak bisa masuk,” ucapnya.
Begitu juga penerimaan peraturan kendaraan ODOL tidak dapat menyeberang dari Jawa ke Sumatera dan sebaliknya kembali terterapkan. “Cuma kendalanya jangan sampai saat tiba pada pelabuhan penyeberangan baru bermasalah. Kasian mereka harus putar balik dan lainnya. Sementara orang sudah beli tiket. Kalau bisa sebelum beli tiket dari hulu sudah selesai,” katanya.
Kemudian ia juga mengusulkan terkait penanganan kendaraan ODOL dengan mengaktifkan fungsi pengawasan jembatan timbang. “Minimalnya kalau ada pengawasan jembatan timbang jadi atensi bersama. Seperti Lampung dulu ada pada Way Kanan, Pematang Panggang dan Way Urang. Sekarang hanya Way Urang. Kita usulkan agar yang Way Kanan aktifkan kembali. Minimal kalau orang sering kena tilang akan ada efek jera,” katanya.
Selanjutnya ia menjelaskan, terdapat peraturan yang sebelumnya ada trayek angkutan barang kini hanya ada aturan trayek. Pada peraturan tersebut tertuang antara angkutan antar kota antara provinsi (AKAP). Dan antar kota dalam provinsi (AKDP) yang tentunya telah teratur berdasarkan klaster daya dukung jalan.
“Misal AKAP pasti antar provinsi melintasi jalan kelas satu. AKDP pasti jalan provinsi. Ketika masuk angkot-angkot jalan kabupaten. Contoh orang kadang buat pabrik pada jalan kabupaten kan bisa rusak terlalui kendaraan besar,” ujarnya.