Bandar Lampung (Lampost.co) — Kabupaten/kota layak anak merupakan salah satu wujud realisasi atas amanat Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Direktur Lembaga Pemerhati Hak Perempuan dan Anak (LPHPA) Lampung, Toni Fisher, mengungkapkan realisasi KLA menjadi tantangan besar. Indikator-indikator yang tercantum dalam penilaian KLA mesti mendapatkan perhatian dengan seksama.
“Pada indikator penilaian KLA ini, semuanya seharusnya terlihat jelas, mulai dari evaluasi program yang berjalan, kemampuan anggaran, hingga bagaimana kolaborasi dengan lintas pihak,” tuturnya.
Tony berharap, penilaian KLA suatu wilayah berjalan sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Sehingga, memberikan hasil yang representatif terhadap kondisi nyata.
“Dalam penilaian indikator, kalau memang tidak layak jangan dinaik-naikkan peringkatnya. Harus jelas, visi misinya sejauh mana, bagaimana kondisi riilnya,” kata dia.
Dia menambahkan, tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak karena berbagai faktor kompleks. Di antaranya lemahnya peran orangtua dan keluarga, program pencegahan dan penanganan dari pemerintah belum optimal, serta penegakkan hukum terhadap pelaku yang masih lemah.
“Anak dan perempuan rentan kekerasan karena tingkat kesadaran keluarga maupun orangtua masih harus ada penguatan, baik dalam perlindungan maupun pengasuhan,” ujarnya.
Penguatan peran keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan anak merupakan strategi nasional untuk menekan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Namun, implementasi program tersebut belum masif.
“Program pencegahan dari pemerintah masih kurang. Tidak hanya menyasar lingkup rumah dan sekolah umum, tapi harus lebih luas seperti ke lembaga pesantren dan TPA,” kata dia.
Pasalnya, regulasi terkait pencegahan kekerasan terhadap anak dan perempuan telah keluar dari berbagai kementerian, tetapi sosialisasinya masih minim.
Selain itu, penegakkan hukum terhadap pelaku kekerasan juga masih sangat lemah. Sehingga, tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku dan dampaknya grafik kasus terus meningkat.
“Kami sudah ada hukuman kebiri, ada panduan pelaksanaannya melalui PP No 70 Tahun 2020, tapi selama sekitar lima tahun, penegakkan masih sangat lemah. Bikin prihatin,” kata dia.








